Olahraga Jantung di Gunung Puntang #2 : Jantung Pindah ke Paha!

Petualangan kami mulai dengan menyusuri perkebunan kopi Puntang yang namanya kini kian harum di jagat perkopian dunia. Vegetasi bervariasi dengan rerumputan, sedikit semak-semak, dan pohon-pohon pinus yang berdiri megah diselingi tanaman kopi. Baru 5 menit berjalan di lahan datar, kami segera menemui jalur yang menanjak - dan ini baru awal semuanya.

Perjalanan menanjak itu terus menanjak dan menanjak. Meskipun diselingi beberapa turunan, tanjakan tetap lebih gila dan terus membawa kami semakin menanjak. Di sepanjang jalur, kami mendapat sambutan kecil : kaki seribu yang berjoget indah dan beberapa cacing tanah menggeliat dengan eksotis di sepanjang jalur awal.

Tanjakan itu semakin naik, kira-kira dengan kemiringan 60 derajat. Jam menunjukkan hampir pukul lima sore, dengan langit yang mendung dan kabut yang tampak turun dari kejauhan. Beberapa kali jantung seperti nggak bisa memberi toleransi untuk jalur ini. Jujur - gunung ini memang nggak terlalu tinggi, tapi jalurnya bikin darah tinggi. Dan jujur lagi - gunung ini sepinya minta ampun. Bahkan waktu itu, hanya ada satu rombongan yang terdiri atas empat orang yang ikut naik menyusul kami. Kami memutuskan untuk melanjutkan perjalanan, menyusul keempat orang itu, dan berharap mendapat lahan datar untuk buka tenda, karena kami tidak mungkin melanjutkan pendakian sampai malam dengan trek yang sukses membuat dengkul ketemu dengan paha.

Hampir tiga puluh menit berlalu, anugerah Tuhan turun pada kami : sebuah lahan datar dengan pohon besar di tengah-tengahnya. Tanpa basa-basi, segera kami buka tenda dalam hitungan menit karena langit dengan santainya hujan tanpa mohon izin. Namun, satu ketololan terjadi : tenda saya lupa dilapisi ponco / jas hujan, sehingga malam itu, tenda saya, basah. Luar dalam.

Butuh waktu satu setengah jam untuk mengeringkan tenda karena hujan yang turun deras. Selama itu, Michael melapisi tenda dengan ponco agar kebocoran nggak meruntuhkan kenikmatan malam kami. Sementara, penghuni tenda sebelah (Andrew & Axel) sibuk berkutat dengan ulat bulu yang nongkrong di atap tenda dengan santai.

Satu jam setelah ponco terbuka lebar, hujan perlahan reda. Dua rombongan pendaki melewati tenda kami dan saling tegur sapa. Kami memutuskan memasak makanan paling sakral, wajib, dan paling penting dalam sejarah pendakian gunung di Indonesia : mi instan. Malam itu adalah jatahnya Andrew & Axel untuk memasak. Malam itu, udara dingin yang edan, dibumbui sedikit city lights di samping tenda, bertemu dengan mi instan kuah yang telah dicampur cabai bubuk, adalah momen paling monumental dalam menikmati malam di gunung. Megah dan meriah, tersaji sederhana, ditemani lagu-lagu indie folk khas Fourtwnty (Yang kebetulan menjadi favorit saya) dan lagu-lagu chill lainnya.

Ah.

Nikmat.

Tanpa sadar, tenda kami telah kering dengan sendirinya. Saatnya mematikan lentera dan senter. Saatnya tidur.

Esok hari. Kejutan menanti.

Comments

Popular Posts