Sebuah Perjalanan Menemukan Guru - Artikel Khusus Hari Guru Nasional 2017
2 minggu penuh kesibukan kompetisi di luar kota telah menghambat saya untuk menulis. Untungnya, sekarang, sebelum saya mulai sibuk lagi (Karena Ujian Akhir Semester), izinkan saya untuk menyempatkan diri menulis, dan hari ini benar-benar tepat bagi saya untuk menulis karena hari ini merupakan Hari Guru Nasional.
Kali ini, saya ingin menuliskan dan menceritakan guru-guru yang punya kenangan tersendiri buat saya. Tanpa nama. Secara kronologis.
SMP adalah perjalanan saya menuju performa puncak. Ketika itu saya masih kelas 1 SMP, dan masih berjiwa SD. Saya masih belum tahu apa yang saya miliki dan yang saya merasa mampu kala itu, adalah kemampuan menulis puisi yang jelas kalah jauh dari Chairil Anwar dan kemampuan bahasa Inggris yang masih mentah karena memang kecintaan saya akan bahasa Inggris sejak TK. Hingga saya bertemu satu guru yang benar-benar berhasil mengubah saya menjadi seseorang yang matang dan berani berkompetisi, salah seorang guru terkeras dan tertegas yang pernah mengajar saya.
Kala itu saya adalah pedang : Dipukul, ditempa, dan dipanaskan dengan bara api terpanas yang mungkin belum pernah saya rasakan selama bersekolah. Beliau melihat kemampuan saya dalam berpuisi, berbahasa inggris, dan melakukan public speaking. Bahkan saya sendiri tak pernah tahu itu. Alhasil, selama 3 tahun di SMP bersama guru yang sama, saya sukses mengoleksi 5 trofi selama di SMP. Beliau adalah guru Bahasa Inggris tergila yang pernah saya temui. Bukan hanya seorang guru Bahasa Inggris, beliau adalah pelatih, teman dekat, dan motivator kala saya SMP.
Berlanjut ke SMA, guru hebat pertama yang saya temui semasa putih abu-abu ini adalah seorang guru Bahasa Indonesia kelas X. Beliau adalah seorang perempuan yang mengajarkan saya untuk bijaksana, to see life from another astonishing point. Beliau selalu memberi dukungan penuh ketika saya berkompetisi, seringkali mengobrol bersama mengenai politik, kebijaksanaan hidup, dan sejarah (Yang saya tahu, beliau mengagumi Soe Hok Gie). Beranjak menuju kelas XI, saya ditampar kekecewaan besar karena beliau dimutasi ke salah satu SMK di bawah yayasan yang sama. Saya merasa waktu 1 tahun bersama beliau belum cukup untuk menggali keilmuan dan kebersamaan, apalagi kami sama-sama mengagumi sastra dan utamanya, puisi.
Masih di kelas X, adalah guru Ekonomi saya yang hingga kini selalu memercayakan saya dan 2 orang teman lain untuk kompetisi-kompetisi ekonomi. Beliaulah yang mengasah kemampuan ekonomi saya melalui teknik pengajaran yang meskipun konvensional, namun tetap detail dan clear. Terakhir, saya dan 2 orang teman yang selalu dipercaya beliau untuk ikut lomba ekonomi pergi bersama beliau ke Jogja untuk mengikuti kompetisi ekonomi tingkat nasional. Kala itu, 3 hari 2 malam bagi saya adalah kenangan terbaik bersama 2 orang teman saya dan beliau. Menikmati Mie Setan bersama sembari menahan pedas yang bersemayam, pergi ke rumah beliau di Gedongkiwo, jalan-jalan dan berbelanja di Sekaten dan Malioboro, makan gudeg lesehan di emperan toko Malioboro, ketinggalan kereta (Bagi saya ketinggalan kereta itu asik, serasa backpacker). Kami bertiga berniat untuk membanggakan beliau dengan memenangkan kompetisi tersebut. Nyatanya, kemampuan kami belum cukup. Mungkin, itulah kenangan terakhir kami sebelum nanti kami lulus tahun depan. Apalagi, kemungkinan besar beliau akan pensiun tahun depan.
Masih belum beranjak dari kelas X, kali ini saya akan berkisah tentang guru Sosiologi saya yang edannya bukan main. Pemikirannya bisa saya sebut, well, tidak beda jauh dari Palung Mariana : Dalam dan penuh keanehan. Apa anehnya? Bisa kita sebut kalau keanehannya ini positif. Setiap presentasi, kesalahan analisa, pengucapan kata, dan kurangnya contoh real akan selalu dipertanyakan. Jika kita bisa mengakui kesalahan kita atau mampu memberikan fakta dan contoh nyata dari ucapan kita, maka kita bebas. Jika tidak, ya sudah, Hasta La Vista, Baby! Oh iya, 1 minggu lalu, saya dan dua orang teman perempuan lainnya diajak beliau untuk ikut kompetisi Sosiologi nasional di Bandung dan itu sebuah perjalanan yang menyenangkan bagi saya - Meskipun tidak menang.
Lanjut ke kelas XI, saya bertemu dengan guru Bahasa Indonesia yang kali ini berbeda dari yang kelas X. Beliau adalah orang di balik layar kesuksesan saya menjadi Juara II Duta Baca Kota Tangerang 2017. Beliau juga pernah memercayakan saya dan 9 orang teman lainnya untuk berkompetisi dalam lomba kritik sastra. Lagi-lagi tidak menang. Kini, beliau memercayakan saya untuk menyelesaikan majalah sekolah ketika anggota-anggota redaksi lain sedang sibuk untuk menyelesaikan ulangan, remedial, ujian praktek, dan kesibukan lainnya.
Guru terakhir yang saya apresiasi, mungkin adalah guru dengan tingkat dedikasi tertinggi dalam daftar ini. He is the most dedicated, hard-working, tough-as-Man of Steel sport teacher with a broad insights of sports, sanity, and science. Apa yang paling saya kenang darinya? Soal ulangan yang memaksa kita melakukan analisis tingkat tinggi dan kata-kata kasarnya kepada anak yang indisipliner dan malas. Terkadang, kata-kata kasarnya ditempatkan bukan pada saat beliau mengomel, tapi saat ingin bercanda, sehingga terasa seperti pelajaran Olah Raga + Stand Up Comedy - plenty of little punchlines. Beliau adalah orang yang juga berpengaruh terhadap pengalaman berogranisasi saya. Ia memercayakan saya dan 1 orang teman lainnya menjadi anggota Majelis Perwakilan Kelas.
Jadi, kita sebenarnya telah melewati masa-masa yang unik bersama guru-guru kita. Seringkali kita membenci guru kita, seolah mempunyai dendam karena kesalahan kecil yang kita lakukan. Niscaya kita akan tahu satu cahaya dari segelap-gelapnya guru. Kita akan mengerti seorang guru bukan dari cara dia mengajar. Bicaralah dan jadilah dekat - kita akan memahami. Kelak, kenangan akan berjejer rapi, mengantri masuk memori, dan akan diceritakan kepada anak-anak kita - Tentang siapa yang pernah memarahi kita ketika buku PR kosong. Tentang siapa yang ikut berbangga menyaksikan muridnya bisa memenangkan kompetisi di depan mata. Tentang siapa yang ikut terharu ketika muridnya bisa lulus dan menjadi satu posisi yang telah tertakdirkan Tuhan dan teringinkan di masa depan.
Tentang mereka yang namanya tak diresmikan jadi Pahlawan Nasional oleh pemerintah.
Kelak. Kita akan berterima kasih.
UPDATE :
Saya baru ingat! Ada 1 guru lagi yang punya peran besar bagi saya. Tapi, bukan bagi saya saja, tapi juga sebuah ekstrakurikuler yang kini saya pimpin sebagai wakil ketua. Beliau ada guru BK, tetapi perannya begitu besar dalam membantu kami melaksanakan tiap pertunjukan teater di sekolah maupun proses produksi film-film. Salah satu yang masih hangat, dibawah pengawasan beliau, kami menjadi juara III Film Nasional Kategori Cerita di Studio Puskat, yang juga dibimbing salah satu pembimbing dari luar teater (Ngomong-ngomong, saya salah satu tokoh utamanya loh!)
Kali ini, saya ingin menuliskan dan menceritakan guru-guru yang punya kenangan tersendiri buat saya. Tanpa nama. Secara kronologis.
SMP adalah perjalanan saya menuju performa puncak. Ketika itu saya masih kelas 1 SMP, dan masih berjiwa SD. Saya masih belum tahu apa yang saya miliki dan yang saya merasa mampu kala itu, adalah kemampuan menulis puisi yang jelas kalah jauh dari Chairil Anwar dan kemampuan bahasa Inggris yang masih mentah karena memang kecintaan saya akan bahasa Inggris sejak TK. Hingga saya bertemu satu guru yang benar-benar berhasil mengubah saya menjadi seseorang yang matang dan berani berkompetisi, salah seorang guru terkeras dan tertegas yang pernah mengajar saya.
Kala itu saya adalah pedang : Dipukul, ditempa, dan dipanaskan dengan bara api terpanas yang mungkin belum pernah saya rasakan selama bersekolah. Beliau melihat kemampuan saya dalam berpuisi, berbahasa inggris, dan melakukan public speaking. Bahkan saya sendiri tak pernah tahu itu. Alhasil, selama 3 tahun di SMP bersama guru yang sama, saya sukses mengoleksi 5 trofi selama di SMP. Beliau adalah guru Bahasa Inggris tergila yang pernah saya temui. Bukan hanya seorang guru Bahasa Inggris, beliau adalah pelatih, teman dekat, dan motivator kala saya SMP.
Berlanjut ke SMA, guru hebat pertama yang saya temui semasa putih abu-abu ini adalah seorang guru Bahasa Indonesia kelas X. Beliau adalah seorang perempuan yang mengajarkan saya untuk bijaksana, to see life from another astonishing point. Beliau selalu memberi dukungan penuh ketika saya berkompetisi, seringkali mengobrol bersama mengenai politik, kebijaksanaan hidup, dan sejarah (Yang saya tahu, beliau mengagumi Soe Hok Gie). Beranjak menuju kelas XI, saya ditampar kekecewaan besar karena beliau dimutasi ke salah satu SMK di bawah yayasan yang sama. Saya merasa waktu 1 tahun bersama beliau belum cukup untuk menggali keilmuan dan kebersamaan, apalagi kami sama-sama mengagumi sastra dan utamanya, puisi.
Masih di kelas X, adalah guru Ekonomi saya yang hingga kini selalu memercayakan saya dan 2 orang teman lain untuk kompetisi-kompetisi ekonomi. Beliaulah yang mengasah kemampuan ekonomi saya melalui teknik pengajaran yang meskipun konvensional, namun tetap detail dan clear. Terakhir, saya dan 2 orang teman yang selalu dipercaya beliau untuk ikut lomba ekonomi pergi bersama beliau ke Jogja untuk mengikuti kompetisi ekonomi tingkat nasional. Kala itu, 3 hari 2 malam bagi saya adalah kenangan terbaik bersama 2 orang teman saya dan beliau. Menikmati Mie Setan bersama sembari menahan pedas yang bersemayam, pergi ke rumah beliau di Gedongkiwo, jalan-jalan dan berbelanja di Sekaten dan Malioboro, makan gudeg lesehan di emperan toko Malioboro, ketinggalan kereta (Bagi saya ketinggalan kereta itu asik, serasa backpacker). Kami bertiga berniat untuk membanggakan beliau dengan memenangkan kompetisi tersebut. Nyatanya, kemampuan kami belum cukup. Mungkin, itulah kenangan terakhir kami sebelum nanti kami lulus tahun depan. Apalagi, kemungkinan besar beliau akan pensiun tahun depan.
Masih belum beranjak dari kelas X, kali ini saya akan berkisah tentang guru Sosiologi saya yang edannya bukan main. Pemikirannya bisa saya sebut, well, tidak beda jauh dari Palung Mariana : Dalam dan penuh keanehan. Apa anehnya? Bisa kita sebut kalau keanehannya ini positif. Setiap presentasi, kesalahan analisa, pengucapan kata, dan kurangnya contoh real akan selalu dipertanyakan. Jika kita bisa mengakui kesalahan kita atau mampu memberikan fakta dan contoh nyata dari ucapan kita, maka kita bebas. Jika tidak, ya sudah, Hasta La Vista, Baby! Oh iya, 1 minggu lalu, saya dan dua orang teman perempuan lainnya diajak beliau untuk ikut kompetisi Sosiologi nasional di Bandung dan itu sebuah perjalanan yang menyenangkan bagi saya - Meskipun tidak menang.
Lanjut ke kelas XI, saya bertemu dengan guru Bahasa Indonesia yang kali ini berbeda dari yang kelas X. Beliau adalah orang di balik layar kesuksesan saya menjadi Juara II Duta Baca Kota Tangerang 2017. Beliau juga pernah memercayakan saya dan 9 orang teman lainnya untuk berkompetisi dalam lomba kritik sastra. Lagi-lagi tidak menang. Kini, beliau memercayakan saya untuk menyelesaikan majalah sekolah ketika anggota-anggota redaksi lain sedang sibuk untuk menyelesaikan ulangan, remedial, ujian praktek, dan kesibukan lainnya.
Guru terakhir yang saya apresiasi, mungkin adalah guru dengan tingkat dedikasi tertinggi dalam daftar ini. He is the most dedicated, hard-working, tough-as-Man of Steel sport teacher with a broad insights of sports, sanity, and science. Apa yang paling saya kenang darinya? Soal ulangan yang memaksa kita melakukan analisis tingkat tinggi dan kata-kata kasarnya kepada anak yang indisipliner dan malas. Terkadang, kata-kata kasarnya ditempatkan bukan pada saat beliau mengomel, tapi saat ingin bercanda, sehingga terasa seperti pelajaran Olah Raga + Stand Up Comedy - plenty of little punchlines. Beliau adalah orang yang juga berpengaruh terhadap pengalaman berogranisasi saya. Ia memercayakan saya dan 1 orang teman lainnya menjadi anggota Majelis Perwakilan Kelas.
Jadi, kita sebenarnya telah melewati masa-masa yang unik bersama guru-guru kita. Seringkali kita membenci guru kita, seolah mempunyai dendam karena kesalahan kecil yang kita lakukan. Niscaya kita akan tahu satu cahaya dari segelap-gelapnya guru. Kita akan mengerti seorang guru bukan dari cara dia mengajar. Bicaralah dan jadilah dekat - kita akan memahami. Kelak, kenangan akan berjejer rapi, mengantri masuk memori, dan akan diceritakan kepada anak-anak kita - Tentang siapa yang pernah memarahi kita ketika buku PR kosong. Tentang siapa yang ikut berbangga menyaksikan muridnya bisa memenangkan kompetisi di depan mata. Tentang siapa yang ikut terharu ketika muridnya bisa lulus dan menjadi satu posisi yang telah tertakdirkan Tuhan dan teringinkan di masa depan.
Tentang mereka yang namanya tak diresmikan jadi Pahlawan Nasional oleh pemerintah.
Kelak. Kita akan berterima kasih.
UPDATE :
Saya baru ingat! Ada 1 guru lagi yang punya peran besar bagi saya. Tapi, bukan bagi saya saja, tapi juga sebuah ekstrakurikuler yang kini saya pimpin sebagai wakil ketua. Beliau ada guru BK, tetapi perannya begitu besar dalam membantu kami melaksanakan tiap pertunjukan teater di sekolah maupun proses produksi film-film. Salah satu yang masih hangat, dibawah pengawasan beliau, kami menjadi juara III Film Nasional Kategori Cerita di Studio Puskat, yang juga dibimbing salah satu pembimbing dari luar teater (Ngomong-ngomong, saya salah satu tokoh utamanya loh!)
"Jika kamu harus meletakkan seseorang di sebuah tumpuan, letakkan guru. Mereka adalah pahlawan masyarakat."
Guy Kawasaki - Kapitalis ventura, penulis, dan spesialis Marketing.
Comments
Post a Comment