Blog The Book #8 : Origins - Dan Brown

Untuk menutup bulan November ini - sekaligus sebagai artikel terakhir sebelum saya berjuang untuk Ujian Semester selama 2 minggu ke depan, saya ingin mengulas salah satu buku karya penulis fenomenal favorit saya yang berhasil menelurkan karya-karya hebat namun kontroversial seperti The Da Vinci Code dan Angels & Demons. Kali ini, Brown meneruskan kisah sang profesor simbologi legendaris dalam sebuah petualangan yang menghadapkan dua hal yang paling diperdebatkan jika bertemu : sains dan agama. Hasilnya?

Tentang Sains & Agama
Langdon mendapatkan undangan dari mantan muridnya di Harvard - Seorang milyuner, penemu, dan futuris bernama Edmond Kirsch. Undangan tersebut meminta Langdon untuk menghadiri sebuah pertemuan yang diadakan Kirsch di Museum Guggenheim, Bilbao, Spanyol, dimana Kirsch akan mengungkapkan penemuan sains terbesar yang bakal menjawab misteri dari eksistensi manusia. Namun, sebuah insiden terjadi, menyebabkan acara itu tersebut menjadi kacau dan penemuan Kirsch terancam hilang. Langdon dan salah seorang direktur museum, Ambra Vidal, terpaksa harus bertualang untuk mengungkap rahasia dari penemuan Kirsch, sembari dikejar oleh seorang musuh yang juga mengincar rahasia itu.



Setelah membaca, saya langsung dapat menyimpulkan tentang Origin : Sebuah buku dengan formula yang tidak berubah sejak petualangan pertama Langdon dalam Angels & Demons. Langdon ditemani seorang partner perempuan (Lagi), dikejar musuh (Lagi), dan kembali bermain dengan sejarah, sains, dan simbol (Lagi). Ini salah satu titik terlemah Origin, yaitu minimnya inovasi jalan cerita. Brown tampak enggan keluar dari zona nyamannya untuk sedikit menciptakan kejutan dan pembaharuan untuk kisah Langdon, sehingga terasa seperti sebelum-sebelumnya. Di awal ada introduksi yang santai dan gelap, menjadi lebih intens dan cepat ketika memasuki bagian tengah, dan tentunya pemaparan misteri di akhir.

Namun, bukan berarti buku ini tidak baik. Beberapa hal yang dikembangkan oleh Brown dalam buku terbarunya ini adalah pemaparan detilnya mengenai suasana, latar, dan situasi yang sedang dihadapi tokoh. Ia menggambarkan Museum Guggenheim yang futuristik dan tempat-tempat lain yang dijelajahi Langdon  dengan megah dan detil, menggunakan kosa kata yang tidak umum diketahui.

Buku ini mendapat suntikan kesegaran pada bagian tokoh : Winston. Uniknya, Winston bukan manusia, apalagi hewan. Ia adalah Artificial Intelligence yang dibuat oleh Kirsch dan terprogram dalam alat petunjuk canggih yang digunakan Langdon ketika memasuki Museum. Ia terasa tidak kaku ketika berbicara dan menyampaikan apa yang ia maksud. Winston adalah AI humanis dengan segudang saran dan pengetahuan yang luas mengenai seni dan sejarah. Di satu sisi, pengetahuannya yang luas akan sejarah dan seni dapat diandalkan Langdon untuk mengungkap misteri yang dihadapinya, dan di sisi lain, ia memiliki kemampuan komunikasi yang luwes dan fleksibel. Tentunya, Brown membawa kesegaran dalam bagian tokoh yang secara tidak langsung memengaruhi cerita secara positif.

Satu hal pasti yang tetap dipertahankan Brown : Kemampuan storytelling yang cepat dan bertempo tinggi yang menciptakan thrill yang masih mampu mencengkram atensi pembaca. Kesan intens dan gelap yang dibangun di awal buku mampu mengikat pembaca dengan rasa penasaran. Dari sini, pembaca akan mulai mempertanyakan banyak hal : Apa yang diciptakan Kirsch? Apa pengaruhnya untuk dunia? Apa motif si antagonis untuk merusak usaha Langdon mengungkap misteri tersebut?

KESIMPULAN
Masih terasa familiar tanpa inovasi dalam cerita, Origin setidaknya lebih baik dari Inferno, berkat kemampuan storytelling Brown yang segera mencengkram pembaca, penjabaran yang detil, dan hadirnya kecerdasan buatan (AI) yang tidak terkesan seperti komputer, melainkan humanis dan cerdas. Overall, Origin is a Brown's comfort-zone product with fresh AI character, fast-paced storyline, and grim nuance. Still an exciting page-turner, better than Inferno.

Comments

Popular Posts