Penjelajahan Negeri di Atas Awan (Day 3) : Masih Menikmati Puncak Prau!

Kami puas menikmati golden sunrise pertama kami di hari Natal. Kami lalu kembali ke tenda dan memutuskan untuk tidak turun dulu, melainkan menginap semalam lagi. Namun, yang menjadi permasalahan kami adalah persediaan air kami menipis. Axel dan Andrew akhirnya melakukan semacam ekspedisi pencarian air dan mereka bilang akan turun ke pos 1 atau pos 2 untuk mencari beberapa botol air.

Setelah mereka berangkat turun, saya duduk di depan tenda, sementara Delia dan Cintya istirahat di dalam tendanya. Saya menikmati suasana pegunungan dan sesekali mengintip ke belakang untuk melihat pemandangan Sumbing-Sindoro yang edan menakjubkan. Tapi, lama-lama saya mengantuk dan bosan, apalagi HP saya tidak ada sinyal dan saya sedang menghemat batere sejak 2 hari yang lalu. Tidak lama, saya pun tertidur.

Saya terbangun dan mendapati suhu di dalam tenda yang sangat panas karena kain tenda yang sebelah saya tutup. Akhirnya saya buka resletingnya, sehingga kain tenda bisa terbuka dan udara segar bisa memenuhi tenda. Di luar ada beberapa pendaki yang mulai bersiap turun. Cintya kemudian keluar sebentar untuk menikmati udara di luar.

1,5 jam berlalu sejak Axel dan Andrew melakukan ekspedisi kecil-kecilan itu. Mereka tiba-tiba muncul dengan bahagia dan membawa 10 botol air dengan isi 1,5 L. Kami pun melakukan pembagian jatah air untuk pribadi dan memasak.

Makin siang, bukannya makin panas, udara berhembus kencang dan makin dingin. Kami kedinginan dan kebosanan. Kami memutuskan main kartu di luar tenda untuk mengusir bosan jauh-jauh dari kami. Sambil ngebanyol dan bercanda dan berganti jenis permainan, kami menikmati kabut yang turun makin melimpah. Seorang pendaki yang baru datang dan mendirikan tenda menegur kami dengan halus agar kami untuk tidak berteriak-teriak terlalu kencang karena takut mengganggu pendaki yang lain. 

Akhirnya kami memutuskan untuk makan karena pas saja, kami semua mulai lapar setelah main kartu. Andrew menyiapkan makaroni, saus, dan salmon kalengan. Kami juga memasak nasi yang hasilnya jadi kerupuk. Gurih-gurih renyah. Tapi, tidak apa. Yang penting salmon yang kami masak nikmati. Dan demi keadilan dan kesejahteraan, kami makan 1 piring secara bergantian.

Masih belum kenyang? Kami tenang saja, karena kami membawa raja makanan dari segala makanan di muka bumi. Makanan legenda dari satu generasi ke generasi. Makanan wajib para petualang. Mie instan.

4 bungkus mie instan rasa kari kuah kental spesial kami rebus dan kami bagikan ke tiap mangkok. Jika makan mie instan, sangat wajib hukumnya untuk makan dengan piring masing-masing, bukan 1 piring ber-5, agar kenikmatannya full version. Camkan itu. 

Mie instan kuah ini membuat lidah kami bergoyang karena kelezatannya, perut terisi karena porsinya yang lumayan banyak, dan udara dingin ditepis oleh hangat kuahnya. Apalagi, di luar tenda kami, kabut tebal mengepung dari segala penjuru. Nikmat alam dan makanan hangat menyatu sempurna. JOSS!

Menjelang malam, saya tidur di tenda cewe karena Axel dan Andrew yang memprotes kalau saya tidur di tenda cowo, Andrew jadi kesempitan (Padahal saya kurus) dan Axel tidak bisa menjadikan temannya itu jadi guling. Protes yang agak kampret..

Akhirnya kami tidur sejak jam 5 sore. Saya terbangun setiap 2 jam karena angin kencang yang berhembus kencang seperti ada yang meniup. Terpal kami bergoyang-goyang dengan kencang dan sempat lepas. Axel pun keluar untuk membetulkan terpal dan kembali ke tendanya lagi. Saya terus terbangun dan terbangun, menunggu jam 4 pagi tampaknya begitu lama.

Edan!
Tepat jam 4 pagi, saya terbangun. Saya minum dan duduk untuk sebentar sampai Cintya bangun pukul 4.30. Akhirnya, kami memutuskan keluar dan melihat-lihat sekitar. Udara sangat-sangat dingin dan bisa dibilang ini suhu terdingin yang pernah saya rasakan seumur hidup saya. Tidak lama, golden sunrise muncul perlahan. Kali ini, lebih indah dari kemarin. Kami berfoto-foto lagi dan menikmati matahari terbit itu dari sisi lain di puncak Prau. kami mencoba mencari gundukan bukit yang lebih dekat ke sunrise itu dan hasilnya memuaskan!

Pukul 7.30, kami kembali ke tenda dan melakukan packing untuk persiapan turun sambil memasak mie goreng instan. Tapi karena kami telah membereskan alat makan kami, kami harus makan mie instan ini dalam satu panci.

Saya kemudian membantu teman-teman membereskan tenda dan terpal, membereskan kompor portabel dan gas, lalu mengemasi panci dan lain-lain. Setelah semuanya siap, kami berfoto-foto yang terakhir kali sebelum turun.

Skip.

Perjalanan turun kami agak sedikit ekstrim dan licin karena tadi malam hujan cukup deras. Saya dan Axel bahkan sampai terpeleset berkali-kali, apalagi bawaan kami cukup banyak. Beberapa pendaki yang sedang naik kami sapa satu per satu dan mereka juga menyapa balik. Panorama ketika turun masih tetap keren. Di kepala kami hanyalah kekhawatiran apakah kamar di rumah Pak Hamid sudah terisi atau belum.

Terus turun dan turun, kami menunggu Andrew membeli oleh-oleh dari rumah warga yang ada di bawah pos 1. Setelahnya, petualangan kami selesai.

Yang pakai baju biru, tolong dikondisikan..

Eh, tapi belum sepenuhnya selesai. Kami berjalan menuju warung makan Ibu Siti dan beliau kembali 
menyambut kami dengan ramah.

"Saya kira kamu udah pulang ke Jakarta." Kata bu Siti.

Mungkin ia masih merindukan kami? Tapi itu nggak penting. Kami tiba di warung makannya dan yang kami cari dulu adalah stop kontak! Mumpung si ibu punya Wi-Fi, kami upload Instagram dan bales Line yang masuk sebentar. Setelah itu, isi perut!

Pak Hamid kemudian datang dan berbincang bersama kami soal pendakian kami dan menawarkan kamar kepada kami. Puji Tuhan, masih kosong. Kami segera meletakkan tas kami di kamar yang letaknya ada di sebelah kiri bawah warung bu Siti.

Kami istirahat, tapi perjalanan belum selesai.

"Jobs fill your pocket, but adventure fills your soul."
 Jaime Lyn Beatty - Pemain Teater Musikal 

Comments

Popular Posts