Penemuan Diri di Muntilan (Day 3) : Trekking & Pentas Seni a la Jawa!
Hari ke-3, kami bersiap-siap dari pagi untuk melakukan petualangan yang lebih gila lagi, karena di hari ketiga, kami akan menanam padi dan menyusuri sungai Senowo! Yok mari..
Saya memutuskan untuk menitipkan dompet dan jam tangan ke teman saya yang membawa tas saat pergi sawah untuk menanam padi. Kami berangkat dengan dijemput mobil pick up, dan semua teman-teman dari kelas IPA maupun IPS bergabung dalam beberapa pematang sawah yang khas dengan terasering. Salah satu panitia dari Gubug Selo Merapi mengajarkan kami untuk menanam padi dengan traktor dan teknik paling tradisional, tangan!
Saya sendiri mencoba menanam padi dengan tangan. Caranya, pegang 2 bibit padi di bagian akar, tancapkan ke dalam tanah kira-kira sedalam 3 cm, dan usahakan jangan sampai patah. Simpel? Silakan coba ya kalau sesekali pergi ke Muntilan.
Setelah giliran saya dan teman-teman saya, kami menunggu orang lain untuk selesai menanam. Sembari nunggu, setidaknya foto-foto dulu untuk sementara sekalian cuci kaki di parit yang airnya dingin dan bening.
Semua anak hampir mendapat gilirannya, saya dan anak-anak yang lainnya berjalan menyusuri sawah-sawah, kebun, kolam ikan, dan dusun warga untuk menuju sungai Senowo. Perjalanan yang memakan waktu 15-20 menit berjalan kaki hingga saya terpeleset ini akhirnya membawa kami menuju suara aliran air yang cukup deras. Di depan mata kami tersaji sungai Senowo dan bebatuan yang cukup besar. Langsung semua berlarian dan menyeburkan diri ke dalam sungai yang dalamnya setinggi mata kaki ini. Ciprat sana, ciprat sini. Foto sana, foto sini.
Para panitia Gubug Selo meminta kami untuk menyusuri sungai yang mengarah ke atas ini. Kami melompati bebatuan bersama salah satu teman saya, yaitu Kevin. Kami berdua ada di paling depan. Sesekali terpeleset di batu, sesekali kami tercebur. Tapi, air yang sejuk, alam yang benar-benar alam, mendorong kami untuk terus menyusuri sungai. Namun, kami bertemu satu hal yang membuat kami gentar.
Air terjun.
Kami harus menaiki air terjun untuk menyusuri sungai Senowo lebih ke atas lagi. Meski tidak terlalu tinggi, alirannya sangat deras. Orang yang pertama kali menaiki air terjun itu adalah Fabio, teman saya. Ia menaikinya dengan memakai tangga besi yang disediakan panitia. Melawan arus, alhasil kacamatanya hanyut terkena arus. Belajar darinya, saya melepas kacamata, menjepitnya di baju saya, dan menaiki tangga dengan menunduk.
Saya pun tiba di atas dan duduk untuk sebentar. Saya dan yang lain baru memulai perjalanan lagi setelah beberapa orang sudah di atas. Lompat dan lompat lagi. Tercebur dan tercebur lagi. Kami tidak merasakan lelah sedikit pun karena memang petualangan ini sangat menyenangkan dan tidak pernah kami alami sebelumnya.
Panitia meminta kami berhenti. Kami semua berhenti, termasuk para guru. Kami tidak tahu apa yang terjadi, jadi kami hanya berfoto-foto, mengobrol, dan main air di sungai yang agak dingin itu. Ternyata, panitia telah menyiapkan makanan berupa nasi doa, yaitu nasi yang berisi daging dan sayuran yang dibungkus daun pisang. Rasanya nikmat!
Kami pun pulang dengan berjalan kaki dan dijemput oleh mobil pick up. Leher dan badan kami merah dan perih. Bahkan untuk mengelap badan dengan handuk ketika tiba di rumah orang tua asuh pun harus berhati-hati karena handuk saya kasar. Saya merasa bahwa pulang saya akan ditanyakan satu hal. "Kok jadi item begini?"
Ah sudahlah.
Sore harinya, saya ditunjuk untuk menjadi pemimpin tari Cakar Lele yang diajari langsung oleh Pak Sabar, sang kepala dusun. Kami diajarkan 4 macam gerakan dengan berjalan memutar di halaman rumah orang tua asuh saya. Kami latihan berulang kali diiringi gamelan yang dimainkan oleh Pak Taslim.
Latihan kami memakan waktu 1 jam dengan lelah dan deg-degan yang kami pikul. Kami sendiri mempersiapkan kostum untuk kami tampil nanti, yaitu ikat kepala dan sarung khas Jawa. Pentas seni sendiri akan terlambat dair jadwal, dan dimulai pukul 20.15. Setiap desa pun tampil. Ada yang penuh tarian, membacakan puisi dicampur teater, dan ada yang seperti ritual pengusiran makhluk gaib. Tim saya sendiri tampil dan saya melakukan kesalahan. Saya malah menghadap ke depan bukan ke belakang. Setidaknya kami puas, tertawa karena kesalahan kami, dan menikmati tepuk tangan penonton. Sisanya, kami sangat menikmati budaya dan seni Jawa yang begitu kaya dan variatif.
Malam itu kami pulang pukul 11.30 dengan menggunakan pick up (Lagi). Sepanjang jalan, kami menikmati persawahan dan rumah warga yang diselimuti hening malam. Saya tiba di dusun pukul 11.50, mencuci muka dan beres-beres sedikit, karena keesokannya, kami akan meninggalkan tempat yang kami anggap sebagai rumah kedua kami.
Saya memutuskan untuk menitipkan dompet dan jam tangan ke teman saya yang membawa tas saat pergi sawah untuk menanam padi. Kami berangkat dengan dijemput mobil pick up, dan semua teman-teman dari kelas IPA maupun IPS bergabung dalam beberapa pematang sawah yang khas dengan terasering. Salah satu panitia dari Gubug Selo Merapi mengajarkan kami untuk menanam padi dengan traktor dan teknik paling tradisional, tangan!
Saya sendiri mencoba menanam padi dengan tangan. Caranya, pegang 2 bibit padi di bagian akar, tancapkan ke dalam tanah kira-kira sedalam 3 cm, dan usahakan jangan sampai patah. Simpel? Silakan coba ya kalau sesekali pergi ke Muntilan.
Setelah giliran saya dan teman-teman saya, kami menunggu orang lain untuk selesai menanam. Sembari nunggu, setidaknya foto-foto dulu untuk sementara sekalian cuci kaki di parit yang airnya dingin dan bening.
Semua anak hampir mendapat gilirannya, saya dan anak-anak yang lainnya berjalan menyusuri sawah-sawah, kebun, kolam ikan, dan dusun warga untuk menuju sungai Senowo. Perjalanan yang memakan waktu 15-20 menit berjalan kaki hingga saya terpeleset ini akhirnya membawa kami menuju suara aliran air yang cukup deras. Di depan mata kami tersaji sungai Senowo dan bebatuan yang cukup besar. Langsung semua berlarian dan menyeburkan diri ke dalam sungai yang dalamnya setinggi mata kaki ini. Ciprat sana, ciprat sini. Foto sana, foto sini.
Para panitia Gubug Selo meminta kami untuk menyusuri sungai yang mengarah ke atas ini. Kami melompati bebatuan bersama salah satu teman saya, yaitu Kevin. Kami berdua ada di paling depan. Sesekali terpeleset di batu, sesekali kami tercebur. Tapi, air yang sejuk, alam yang benar-benar alam, mendorong kami untuk terus menyusuri sungai. Namun, kami bertemu satu hal yang membuat kami gentar.
Air terjun.
Kami harus menaiki air terjun untuk menyusuri sungai Senowo lebih ke atas lagi. Meski tidak terlalu tinggi, alirannya sangat deras. Orang yang pertama kali menaiki air terjun itu adalah Fabio, teman saya. Ia menaikinya dengan memakai tangga besi yang disediakan panitia. Melawan arus, alhasil kacamatanya hanyut terkena arus. Belajar darinya, saya melepas kacamata, menjepitnya di baju saya, dan menaiki tangga dengan menunduk.
Saya nggak sadar saya difoto, dan ini hasilnya., |
Panitia meminta kami berhenti. Kami semua berhenti, termasuk para guru. Kami tidak tahu apa yang terjadi, jadi kami hanya berfoto-foto, mengobrol, dan main air di sungai yang agak dingin itu. Ternyata, panitia telah menyiapkan makanan berupa nasi doa, yaitu nasi yang berisi daging dan sayuran yang dibungkus daun pisang. Rasanya nikmat!
Kami pun pulang dengan berjalan kaki dan dijemput oleh mobil pick up. Leher dan badan kami merah dan perih. Bahkan untuk mengelap badan dengan handuk ketika tiba di rumah orang tua asuh pun harus berhati-hati karena handuk saya kasar. Saya merasa bahwa pulang saya akan ditanyakan satu hal. "Kok jadi item begini?"
Ah sudahlah.
Sore harinya, saya ditunjuk untuk menjadi pemimpin tari Cakar Lele yang diajari langsung oleh Pak Sabar, sang kepala dusun. Kami diajarkan 4 macam gerakan dengan berjalan memutar di halaman rumah orang tua asuh saya. Kami latihan berulang kali diiringi gamelan yang dimainkan oleh Pak Taslim.
Saya yang paling depan.. |
Malam itu kami pulang pukul 11.30 dengan menggunakan pick up (Lagi). Sepanjang jalan, kami menikmati persawahan dan rumah warga yang diselimuti hening malam. Saya tiba di dusun pukul 11.50, mencuci muka dan beres-beres sedikit, karena keesokannya, kami akan meninggalkan tempat yang kami anggap sebagai rumah kedua kami.
"Hidup di daerah pedesaan menunjukkanmu banyak hal-hal menakjubkan - dunia yang alami dan suatu rasa dari kehidupan di kota yang kecil, dan pengalaman menyenangkan hidup di tempat terbuka."
Susan Orlean - Jurnalis & Penulis Amerika
Comments
Post a Comment