Penjelajahan Negeri di Atas Awan (Day 2) : Rasa Lelah yang Nantinya Terbayar!

Jadi, kawan-kawan Philosophers. Saatnya saya melanjutkan petualangan saya menuju puncak gunung yang memiliki sunrise terindah se-Asia Tenggara (Kata orang-orang), gunung Prau! Di artikel sebelumnya, saya sempat berkenalan dengan carica, ibu Siti, dan pak Hamdi yang nantinya akan menemani kami selama di Dieng. Selanjutnya, one hell of an exhausting yet exhilarating adventure just getting started.

Kami berpamitan dengan ibu Siti untuk menuju pos pendakian Patak Banteng. Kami harus bayar simaksi (Bahasa umumnya, pendaftaran) sebesar Rp 10.000, untuk bisa naik lewat jalur Patak Banteng. Setelah registrasi selesai, setiap dari kami dapat selembar kertas berisi peta dari jalur itu dan aturan-aturan yang harus ditaati selama pendakian maupun berkemah.

Pendakian pun dimulai.

Basecamp - Pos 1 (Sikut Dewo)
Kami memulai pendakian dengan melewati rumah warga. Tantangan pertama kami adalah tangga yang lumayan menanjak. 10 anak tangga pertama, santai. Sisanya? Jantung pindah ke paru-paru. Kami lalu menembus ladang-ladang warga dan menyapa para pendaki yang baru turun. Kami memutuskan langsung istirahat di sebuah gubuk kecil setelah 10 menit naik. Kami memutuskan untuk membawa tas teman kami, Delia, secara bergantian, karena dia memiliki penyakit asma. Akhirnya kami mendaki dan bertemu jalanan batu yang rapi, tapi menanjak. Tiap 5 langkah, istirahat. Kami terus lanjut mendaki hingga akhirnya bertemu sebuah tiang besti dengan papan bertuliskan Pos 1 (Sikut Dewo). Kami langsung lempar carrier sebentar untuk istirahat.

Pos 1 - Pos 2 (Canggal Walangan)
Setelah istirahat yang sebentar (Baca : Agak lama), kami lanjut! Dari rambu-rambu pos 1, kami belok kiri ke atas jalur yang menanjak. Untuk naik, terkadang kami harus berpegangan dengan tali tambang yang diikat ke tonggak besi. Biar lebih semangat, saya setel beberapa lagu rock  dan EDM. Ditambah, pemandangan di kiri kami jaw-dropping. Kami juga menemui beberapa warung yang menjual makanan kecil dan minuman. Kami bertemu seorang pendaki yang sangat ramah dan menghibur kami. Kami sempat berfoto-foto dengannya di sebuah tanah lapang yang kecil. Setelah berumpun-rumpun bunga daisy dan foto-foto yang apik, kami tiba di pos 2.

Pos 2 - Pos 3 (Cacingan)
Kami tahu treknya akan berat, tapi ternyata ekspektasi kami dibengkokkan oleh kenyataan. Realitanya, lebih berat! Kami harus melewati berbagai akar pohon yang timbul di atas tanah, menaiki tanah yang curam, dan berjuang bersama pendaki lain. Menanjak, sedikit licin karena pendakian dilakukan di bulan Desember (Musim hujan), kami tampaknya salah pilih jalur, terlebih saya seorang beginner yang sama sekali tidak punya pengalaman.. It's alright..

Pos 3 - Bukit Teletubbies
Jalur ini bisa saya sebut sebagai jalur terkampret dari semua jalur di Patak Banteng. Curam, kemiringan lereng yang lebih gila dari jalur sebelumnya, dan lebih menipu. Kenapa, karena saya selalu melihat ke atas, saya pikir akan segera tiba di puncak. Makin naik, ternyata yang saya lihat bukan puncak ternyata tanjakan yang lebih gila lagi. Bahkan, saya sempat membantu seorang ibu untuk naik ke sebuah tanjakan kecil yang cukup curam. Setelah ilusi akan puncak yang berkali-kali saya alami, saya tiba di sebuah jalanan datar. Boom! Puncak sebentar lagi!

Gunung Sumbing-Sindoro yang tertutup awan.

Bukit Teletubbies - Kecapean

Kami mulai melihat berbagai pendaki yang bersantai di tendanya dan berjalan-jalan. Kami pun tiba di Bukit Teletubbies dan menemui sebuah tugu gunung Prau bertuliskan 2565 MDPL dan di sebelah kanan, mahakarya agung Tuhan memijat mata. Pemandangan Sumbing-Sindoro dan Merapi-Merbabu dengan kepungan awan yang menutupi pemandangan di bawah. Edan!

Akhirnya kami pun memutuskan untuk mendirikan sebuah tenda di dekat sebuah pohon kecil. Kami mendirikan terpal dengan mengikatnya di pohon itu dan mencari beberapa kayu besar sebagai tonggak untuk mengikat tali. Jadi, terpal kami bisa menutupi kami jika kami beraktivitas di luar seperti memasak atau main kartu.

Setelah semuanya selesai, kami masak mie instan dan menikmati selimut kabut dan udara dingin yang nampol. Saya sempat tidur bersama teman-teman yang lain sampai sore dan terbangun kembali untuk memasak serela instan dan teh hangat. Kami tidak diizinkan menikmati sunset karena kabut masih menyelimuti. Ketika malam tiba, kami mencoba untuk membuat mie instan lagi dan hasilnya, api kompor membara seketika. Axel dan Andrew langsung mematikan kompor dan ketika mencoba untuk menyalakannya kembali, kompor sepertinya tidak bisa digunakan. Kemungkinan, lubang gasnya menyusut karena temperatur yang dingin sehingga gas tidak bisa maksimal digunakan. Kami memutuskan tidur dengan carrier sebagai bantal kepala. Pria tidur bertiga dengan perang kentut, sementara para perempuan tidur berdua dengan tenang. Kami menikmati tidur kami di malam Natal itu, untuk menyambut sunrise di hari Natal..

Comments

Popular Posts