Olahraga Jantung di Gunung Puntang #1 - Permulaan Penderitaan!
Setelah melalui USBN dan UNBK yang begitu kacau dan menerima hasil kelulusan, saya kembali! Saya kembali, untuk menceritakan kisah pendakian kedua yang saya lakukan pada 4 Mei, tepatnya sehari setelah pengumuman kelulusan SMA. Pada kesempatan liburan ini, saya mendaki Gunung Puntang yang cukup terkenal di kawasan Bandung. Untuk itu, izinkan saya segera menceritakan bagaimana Gunung Puntang sukses membuat jantung berdemonstrasi.
Pagi yang cerah membuka hari Jumat, 4 Mei 2018. Saya dan Michael, bergerak menuju Pool Bus Arimbi yang ada di kawasan Cikokol dengan diantar oleh ayah kesayangan saya. Kami tiba pukul 7 pagi, sembari menunggu eksistensi Axel dan Andrew, 2 rekan pendakian saya yang pernah naik bersama saya ke Gunung Prau (Baca artikel : Penjelajahan Negeri di Atas Awan). 1 jam dibutuhkan untuk mengumpulkan seluruh diri kami dan bus jurusan Kalideres-Leuwipanjang tiba. Pergerakan bus mulai terasa konstan sejak pukul 8.15 pagi, namun agak terhambat karena macet di daerah Slipi dan jalan tol Cipularang. Sepanjang perjalanan, kejenuhan tumbuh menyeruak, diiringi lagu jadul Nike Ardilla dan pemandangan konstruksi tiang-tiang yang entah untuk apa di antara ruas jalan tol. Lapar ikut menghampiri, melengkapi perjalanan bus yang tampaknya masih jauh dari kata tiba.
Pukul 12.30, bus tiba di Terminal Leuwipanjang - sebuah terminal yang padatnya telah dapat dirasakan sejak langkah pertama menginjaknya. Penuh manusia, penuh kendaraan, penuh pedagang makanan. Seorang bapak-bapak menghampiri kami dan menawarkan kami transportasi untuk menuju Gunung Puntang - dengan tarif 250 ribu. Yes. 250 ribu.
Penolakan otomatis.
Kami beralasan ingin cari makan terlebih dahulu, padahal mau cari taksi online dengan tarif yang setidaknya tidak sampai 90 ribu. Jika dibagi berempat, tentu lebih murah. Heran, kenapa cari uang harus sampai ketok harga selangit? Untuk kami, traveler kelas bawah yang bisa terdampar di Bandung kapan aja, itu harga tak waras.
Taksi online yang dikemudikan seorang bapak tua menjemput kami, dan menempuh perjalanan selama 1 jam lebih, lewat jalanan kota Bandung yang kini populer akan macetnya dan berlika-liku naik turun. Kebetulan, kami mau turun di Tugu Cimaung, dan bapak itu hanya bisa mengantar sampai sana, karena jalanan menuju Gunung Puntang cukup berat.
Setibanya di Tugu Cimaung, banyak pilihan menanti kami - Pertama : Langsung naik ke Gunung Puntang, kedua : isi perut, ketiga : ke mini market untuk santai sejenak dan isi perbekalan. Setelah berpikir singkat, maka urutan petualangan yang akan kami lakukan adalah pilihan kedua, ketiga, dan pertama.
Makanan yang kami nikmati adalah bakso sapi, dibanderol 12 ribu aja, cukup murah untuk ukuran kami, dengan nasi bungkus yang kami beli seharga 5 ribu di warteg
. Bagi kami, yang penting nikmatnya mencukupi dan murah. Sementara di mini market, rekan-rekan saya hanya numpang ngecas Hape sampai penuh, sementara saya beli air minum untuk perbekalan.
Semua siap, semua berangkat. Dengan sarana angkutan desa jurusan Banjaran-Gamblok, kami menyusuri 8 kilometer perjalanan menanjak dari Tugu Cimaung hingga Wana Wisata Gunung Puntang. Sekadar info, angkutan perdesaan ini mirip bemo Si Doel Anak Betawi. Dengan tarif cuma 10 ribu sampai atas, angkutan perdesaan ini tergolong ramah dompet.
Ketibaan kami di Wana Wisata Gunung Puntang disambut sepi yang menenangkan dan seorang penjaga tiket berjaket kulit, berkumis tipis, berambut gondrong, dan (Kayaknya) beristri satu.
"Berapa orang?"
"4 orang pak. 2 hari."
"Sehari 20 ribu, berarti jadi 40 ribu ya."
Yap, tarifnya 20 ribu per hari. Sudah termasuk ketek basah dan flora faunanya.
Seorang penjaga tiket lain bernama Pak Dindin memberikan kami informasi tentang vegetasi dan peta menuju puncak Mega - puncaknya Gunung Puntang.
"Kalau untuk predator teratasnya, ada macan kumbang dan tutul."
Oke, kita semua telen ludah.
Setelah briefing singkat bersama Pak Dindin, kami langsung berangkat menuju Puncak Mega pukul 4 sore.
Sisanya?
Sejarah - Eh, amarah.
Pagi yang cerah membuka hari Jumat, 4 Mei 2018. Saya dan Michael, bergerak menuju Pool Bus Arimbi yang ada di kawasan Cikokol dengan diantar oleh ayah kesayangan saya. Kami tiba pukul 7 pagi, sembari menunggu eksistensi Axel dan Andrew, 2 rekan pendakian saya yang pernah naik bersama saya ke Gunung Prau (Baca artikel : Penjelajahan Negeri di Atas Awan). 1 jam dibutuhkan untuk mengumpulkan seluruh diri kami dan bus jurusan Kalideres-Leuwipanjang tiba. Pergerakan bus mulai terasa konstan sejak pukul 8.15 pagi, namun agak terhambat karena macet di daerah Slipi dan jalan tol Cipularang. Sepanjang perjalanan, kejenuhan tumbuh menyeruak, diiringi lagu jadul Nike Ardilla dan pemandangan konstruksi tiang-tiang yang entah untuk apa di antara ruas jalan tol. Lapar ikut menghampiri, melengkapi perjalanan bus yang tampaknya masih jauh dari kata tiba.
Pukul 12.30, bus tiba di Terminal Leuwipanjang - sebuah terminal yang padatnya telah dapat dirasakan sejak langkah pertama menginjaknya. Penuh manusia, penuh kendaraan, penuh pedagang makanan. Seorang bapak-bapak menghampiri kami dan menawarkan kami transportasi untuk menuju Gunung Puntang - dengan tarif 250 ribu. Yes. 250 ribu.
Penolakan otomatis.
Kami beralasan ingin cari makan terlebih dahulu, padahal mau cari taksi online dengan tarif yang setidaknya tidak sampai 90 ribu. Jika dibagi berempat, tentu lebih murah. Heran, kenapa cari uang harus sampai ketok harga selangit? Untuk kami, traveler kelas bawah yang bisa terdampar di Bandung kapan aja, itu harga tak waras.
Taksi online yang dikemudikan seorang bapak tua menjemput kami, dan menempuh perjalanan selama 1 jam lebih, lewat jalanan kota Bandung yang kini populer akan macetnya dan berlika-liku naik turun. Kebetulan, kami mau turun di Tugu Cimaung, dan bapak itu hanya bisa mengantar sampai sana, karena jalanan menuju Gunung Puntang cukup berat.
Setibanya di Tugu Cimaung, banyak pilihan menanti kami - Pertama : Langsung naik ke Gunung Puntang, kedua : isi perut, ketiga : ke mini market untuk santai sejenak dan isi perbekalan. Setelah berpikir singkat, maka urutan petualangan yang akan kami lakukan adalah pilihan kedua, ketiga, dan pertama.
Makanan yang kami nikmati adalah bakso sapi, dibanderol 12 ribu aja, cukup murah untuk ukuran kami, dengan nasi bungkus yang kami beli seharga 5 ribu di warteg
Hutan di depan mata.. |
Semua siap, semua berangkat. Dengan sarana angkutan desa jurusan Banjaran-Gamblok, kami menyusuri 8 kilometer perjalanan menanjak dari Tugu Cimaung hingga Wana Wisata Gunung Puntang. Sekadar info, angkutan perdesaan ini mirip bemo Si Doel Anak Betawi. Dengan tarif cuma 10 ribu sampai atas, angkutan perdesaan ini tergolong ramah dompet.
Ketibaan kami di Wana Wisata Gunung Puntang disambut sepi yang menenangkan dan seorang penjaga tiket berjaket kulit, berkumis tipis, berambut gondrong, dan (Kayaknya) beristri satu.
"Berapa orang?"
"4 orang pak. 2 hari."
"Sehari 20 ribu, berarti jadi 40 ribu ya."
Yap, tarifnya 20 ribu per hari. Sudah termasuk ketek basah dan flora faunanya.
Seorang penjaga tiket lain bernama Pak Dindin memberikan kami informasi tentang vegetasi dan peta menuju puncak Mega - puncaknya Gunung Puntang.
"Kalau untuk predator teratasnya, ada macan kumbang dan tutul."
Oke, kita semua telen ludah.
Setelah briefing singkat bersama Pak Dindin, kami langsung berangkat menuju Puncak Mega pukul 4 sore.
Sisanya?
Sejarah - Eh, amarah.
Comments
Post a Comment