Permulaan Tahun, Awal Penderitaan

Saya butuh 15 hari pertama di tahun ini untuk menelurkan artikel pertama 2018. Jadi, selamat datang di tahun 2018, Philosophers! Saya mengharapkan sesuatu yang unik dan berbeda untuk tahun ini. Tentunya, saya ingin pengalaman dan petualangan saya lebih variatif dan menyegarkan, sehingga tidak hanya mengubah jiwa saya, tetapi juga bisa memberi dosis kehidupan bagi anda.

Artikel pertama tahun akan mengisahkan keresahan saya akan sistem pendidikan yang sudah sering kali menjadi bulan-bulanan pelajar : UN dan USBN. Saya tidak perlu menjelaskan dengan rumit dan runyam apa itu UN/USBN, sistemnya seperti apa, karena tentunya anda sendiri tiap tahun membaca di berita bagaimana kesemrawutan sistem itu.

Mari kita awali artikel ini dengan jadwal padat saya selama 3 bulan ke depan.

Akhir Januari - Awal Februari : Ujian Praktek. Awal Februari - Akhir Februari : Simulasi UN. Awal Maret - Pertengahan Maret : Kemungkinan UTS. Pertengahan - Akhir Maret : USBN. Awal April : UN.

Sudah dibaca? Sekarang jawab pertanyaan saya.

Ujian itu melatih diri apa melatih hafalan?

Kita dirantai oleh suatu sistem dimana anak diminta untuk mengikuti ujian dengan menguasai materi yang secara dominan harus dihafal! Ketika kita harus menghafal, kita harus mempelajari tipe dan pola dari soal tiap mata pelajaran. Seolah-olah UN dan USBN adalah novel Dan Brown yang tingkat kerumitan teka-teki dan antagonisnya harus kita pecahkan.



Nah! Kalau begitu, ada yang menjadi paradoks dalam sistem pendidikan selama ini.

Kalau anda pernah belajar Kewarganegaraan, tentu pernah mendengar Pembukaan UUD 1945 alinea ke-4. Salah satu isinya : Mencerdaskan kehidupan bangsa.

"Mencerdaskan kehidupan bangsa."

Tapi, sistem yang terbentuk dan sudah menjadi "tradisi" pendidikan tahunan kita adalah sistem yang membuat kita lulus hanya karena kita menghafal pelajaran dan menguasai tipe dan pola soal. Ketika tujuan negara kita adalah "mencerdaskan kehidupan bangsa", di saat yang bersamaan, tindakan negara kita adalah berusaha untuk "meluluskan kehidupan bangsa."

Kita telah masuk dalam pusaran itu, sebuah pusaran yang memaksa kita untuk mencari tahu pelajaran demi kelulusan, bukannya mencari tahu apa arti "diri sendiri" dan sekumpulan anugerah yang sama sekali tidak bisa kita temukan dengan UN dan USBN.

Di sini, saya berdiri sebagai orang yang kurang setuju dengan UN/USBN bukan karena saya lelah dengan ujian. Ini hanya karena pembentukan sistem yang kurang tepat. Pendidikan kita telah mengerucut pada suatu circle dengan sekumpulan tata aturan dan standar yang telah ditetapkan bagi progress setiap pelajar, dan itu mencipta satu arti : Pengekangan pendidikan hanya demi meluluskan.

Setiap anak memiliki kebebasan untuk mencari tahu dirinya sendiri, meski nanti siapa mereka akan terungkapkan tanpa kita duga. Tetap, eksplorasi menjadi kunci. Manusia terlahir untuk menentukan arah hidupnya. Jikalau angin saja bisa bertiup kemana pun, tentu kita sanggup. Ini hanya masalah sistem.

Atau, hanya masalah waktu?

"Jangan kekang seorang anak sesuai cara pembelajaran anda, karena dia dilahirkan untuk waktu dan hal-hal lain."
 Rabindranath Tagore -Polymath asal India

Comments

Popular Posts