Penjelajahan di Negeri di Atas Awan (Last Day) : The Longest Journey Ever..
Perjalanan itu kami jalani dengan santai, menikmati sebuah bus kelas eksekutif dengan tempat duduk empuk (Apalagi saya duduk sendiri) dan juga AC yang mantep. Pemandangan-pemandangan masih dapat kami pandangi, kota-kota kecil Wonosobo dan sekitarnya serta dataran-dataran tinggi yang perlahan dilahap gelap karena senja mulai menenggelamkan dirinya. Saya melihat kesederhanaan dan kesahajaan suasana kehidupan orang-orang Jawa yang membuat saya ingin tinggal tetap di sana. Seandainya bisa.
Sembari memutarkan lagu dan pasang headset, saya makan pastel yang saya beli di warung si ibu buat nahan lapar karena perjalanan hingga pagi ini akan jadi perjalanan panjang. Hingga akhirnya, saya tau perjalanan ini bakal membutuhkan lebih dari sekadar pastel sebagai bekal.
Saya mencoba untuk tidur. Kemudian terbangun, dan tertidur lagi, karena kendali bus agak sedikit kurang nyaman. Entah ada yang salah dengan si supir saya juga nggak tahu. Tapi yang jelas, cara sang supir membawa bus kurang nyaman untuk dinikmati, bahkan ada barang milik penumpang yang ditaruh di bagasi atas jatuh dengan bunyi yang kencang. Seperti berbahan metal atau besi. Pokoknya keras.
Pukul 11 malam (Kalo nggak salah), saya tiba di sebuah rumah makan untuk buang air kecil, sementara teman-teman saya makan. Saya sendiri membeli mie cup untuk isi perut hingga pagi lagi, karena saya tahu pastel-pastel itu tidak akan membuat kenyang saya bertahan lama. Dan saya pikir kami akan transit (Pindah bus ke tangerang) di restoran ini. Nyatanya, kami cuma istirahat dan kami masih penasaran kapan kami akan berpindah ke bus yang jurusan Tangerang.
Perjalanan dilanjutkan. Skip.
.
.
.
.
.
.
.
Terbangun pukul 4 pagi. Kami tiba di terminal bus milik PO dari bus yang saya tumpangi yang berlokasi di Karawang agak ke Bekasi. (Saya lupa namanya). Kami diturunkan. Dan kami merasa di sinilah kami akan transit. Andrew mencoba menanya ke loket informasi, dan katanya tidak ada lagi bus ke Tangerang. Tapi, Andrew menunjukkan tiket kami ke petugas loket itu.
"Itu salah jurusannya. Busnya cuma sampe sini doang. Kalau mau ke Tangerang, tunggu sampe nanti sore baru ada lagi."
Minta dikutuk. Masa iya, kami tunggu bus sampai sore hanya untuk ke Tangerang? Akhirnya kami sempat terdampar di sana selama sekitar 30 menit, memikirkan cara untuk ke Tangerang, sampai akhirnya ada petugas halte yang bilang ada bus jurusan Bekasi. Kami langsung naik dan berpamitan ke seorang bapak-bapak bersama istri dan anaknya yang menunggu bus ke Kalideres.
Sekitar 15 menit perjalanan, kami turun di Bekasi. Bukannya diturunkan di terminal Bekasi, kami diturunkan di trotoar yang nggak jauh dari terminal Bekasi. Jadi, bus yang kami tumpangi seolah-olah nggak membawa penumpang ketika sampai terminal Bekasi. Kampret.
Kami akhirnya terdampar di sebuah halte terbengkalai yang isinya cuma warung kecil. hampir 45 menit kami mikir dan keluar masuk terminal untuk cari tahu soal jadwal bus ke Tangerang. Bus ke Tangerang belum tiba. Sementara waktu terus berjalan, apalagi saya bilang papa saya untuk jemput jam 5 pagi, karena saya pikir akan sampai jam 5 pagi (Seperti ketika tiba di Dieng). Nyatanya, waktu itu sudah jam 7 dan kami masih di Bekasi.
Kami mencoba tanya seorang petugas Dishub yang sedang tugas mengatur lalu lintas.
"Mereka (Supir bus) bohong berarti. Kalian dibohongi sama supirnya. Harusnya kan sesuai tiket."
Kampret. Tapi nggak apa-apa, itu pengalaman kami.
Papa saya telpon ke saya untuk naik bus Aja, tapi bus itu belum tiba di Bekasi. Sementara, Axel menyarankan untuk naik kereta. Kami akhirnya memutuskan naik kereta daripada menunggu bus Aja. Kami akhirnya naik metro mini ke stasiun Bekasi. 2 orang ibu-ibu ngobrol dengan kami.
"Dari mana, dek?"
"Dari naik gunung bu."
"Di mana?"
"Dieng, bu. Gunung Prau."
"Ya ampun, kok bisa sampe Bekasi?"
"Dibohongin supir bus, bu. Harusnya dianterin ke Tangerang, tapi diturunin di trotoar dekat terminal (Bekasi)."
"Ya ampun jahat amat."
Kami cuma bisa nyengir-nyengir meratapi ironi ini.
Di stasiun Bekasi, kami segera beli tiket dan seketika kereta datang, langsung naik, tanpa basa-basi. Sambil nahan buang air kecil.
Stasiun demi stasiun kami datangi, dengan barang bawaan kami yang pastinya nggak ringan. Hingga tiba di stasiun Poris, Andrew turun karena memang rumahnya ada di Poris. Kereta melaju lagi hingga menuju stasiun Tangerang.
Stasiun Tangerang! Akhirnya tiba, menghirup udara kota yang agak panas ini setelah seminggu tidak di sini. Delia dijemput papanya di stasiun, sedangkan saya, Axel, dan Cintya jalan kaki ke depan Pasar Lama. Saya telpon papa saya yang sudah nunggu lama.
"Papa di depan kamu."
Ngapain saya telpon kalo gitu.
Papa saya langsung nyalain mobil, kami langsung pulang. Iya, pulang!
Setelah mengantar mereka berdua, saya pulang dengan disambut mama dan nenek saya yang bahagianya nggak terbendung setelah seminggu nggak liat saya. Maklum, anak tunggal.
Ya. Inilah perjalanan saya. Perjalanan yang mengajari saya tentang bertualang, tentang melihat dunia dan belajar darinya. Tentang menanggapi keadaan darurat dan mengubah rencana secara dinamis. Tentang manajemen sumber daya dan waktu. Tentang kehidupan.
Sekian.
Sembari memutarkan lagu dan pasang headset, saya makan pastel yang saya beli di warung si ibu buat nahan lapar karena perjalanan hingga pagi ini akan jadi perjalanan panjang. Hingga akhirnya, saya tau perjalanan ini bakal membutuhkan lebih dari sekadar pastel sebagai bekal.
Saya mencoba untuk tidur. Kemudian terbangun, dan tertidur lagi, karena kendali bus agak sedikit kurang nyaman. Entah ada yang salah dengan si supir saya juga nggak tahu. Tapi yang jelas, cara sang supir membawa bus kurang nyaman untuk dinikmati, bahkan ada barang milik penumpang yang ditaruh di bagasi atas jatuh dengan bunyi yang kencang. Seperti berbahan metal atau besi. Pokoknya keras.
Pukul 11 malam (Kalo nggak salah), saya tiba di sebuah rumah makan untuk buang air kecil, sementara teman-teman saya makan. Saya sendiri membeli mie cup untuk isi perut hingga pagi lagi, karena saya tahu pastel-pastel itu tidak akan membuat kenyang saya bertahan lama. Dan saya pikir kami akan transit (Pindah bus ke tangerang) di restoran ini. Nyatanya, kami cuma istirahat dan kami masih penasaran kapan kami akan berpindah ke bus yang jurusan Tangerang.
Perjalanan dilanjutkan. Skip.
.
.
.
.
.
.
.
Terbangun pukul 4 pagi. Kami tiba di terminal bus milik PO dari bus yang saya tumpangi yang berlokasi di Karawang agak ke Bekasi. (Saya lupa namanya). Kami diturunkan. Dan kami merasa di sinilah kami akan transit. Andrew mencoba menanya ke loket informasi, dan katanya tidak ada lagi bus ke Tangerang. Tapi, Andrew menunjukkan tiket kami ke petugas loket itu.
"Itu salah jurusannya. Busnya cuma sampe sini doang. Kalau mau ke Tangerang, tunggu sampe nanti sore baru ada lagi."
Minta dikutuk. Masa iya, kami tunggu bus sampai sore hanya untuk ke Tangerang? Akhirnya kami sempat terdampar di sana selama sekitar 30 menit, memikirkan cara untuk ke Tangerang, sampai akhirnya ada petugas halte yang bilang ada bus jurusan Bekasi. Kami langsung naik dan berpamitan ke seorang bapak-bapak bersama istri dan anaknya yang menunggu bus ke Kalideres.
Sekitar 15 menit perjalanan, kami turun di Bekasi. Bukannya diturunkan di terminal Bekasi, kami diturunkan di trotoar yang nggak jauh dari terminal Bekasi. Jadi, bus yang kami tumpangi seolah-olah nggak membawa penumpang ketika sampai terminal Bekasi. Kampret.
Kami akhirnya terdampar di sebuah halte terbengkalai yang isinya cuma warung kecil. hampir 45 menit kami mikir dan keluar masuk terminal untuk cari tahu soal jadwal bus ke Tangerang. Bus ke Tangerang belum tiba. Sementara waktu terus berjalan, apalagi saya bilang papa saya untuk jemput jam 5 pagi, karena saya pikir akan sampai jam 5 pagi (Seperti ketika tiba di Dieng). Nyatanya, waktu itu sudah jam 7 dan kami masih di Bekasi.
Kami mencoba tanya seorang petugas Dishub yang sedang tugas mengatur lalu lintas.
"Mereka (Supir bus) bohong berarti. Kalian dibohongi sama supirnya. Harusnya kan sesuai tiket."
Kampret. Tapi nggak apa-apa, itu pengalaman kami.
Papa saya telpon ke saya untuk naik bus Aja, tapi bus itu belum tiba di Bekasi. Sementara, Axel menyarankan untuk naik kereta. Kami akhirnya memutuskan naik kereta daripada menunggu bus Aja. Kami akhirnya naik metro mini ke stasiun Bekasi. 2 orang ibu-ibu ngobrol dengan kami.
"Dari mana, dek?"
"Dari naik gunung bu."
"Di mana?"
"Dieng, bu. Gunung Prau."
"Ya ampun, kok bisa sampe Bekasi?"
"Dibohongin supir bus, bu. Harusnya dianterin ke Tangerang, tapi diturunin di trotoar dekat terminal (Bekasi)."
"Ya ampun jahat amat."
Kami cuma bisa nyengir-nyengir meratapi ironi ini.
Di stasiun Bekasi, kami segera beli tiket dan seketika kereta datang, langsung naik, tanpa basa-basi. Sambil nahan buang air kecil.
Stasiun demi stasiun kami datangi, dengan barang bawaan kami yang pastinya nggak ringan. Hingga tiba di stasiun Poris, Andrew turun karena memang rumahnya ada di Poris. Kereta melaju lagi hingga menuju stasiun Tangerang.
Stasiun Tangerang! Akhirnya tiba, menghirup udara kota yang agak panas ini setelah seminggu tidak di sini. Delia dijemput papanya di stasiun, sedangkan saya, Axel, dan Cintya jalan kaki ke depan Pasar Lama. Saya telpon papa saya yang sudah nunggu lama.
"Papa di depan kamu."
Ngapain saya telpon kalo gitu.
Papa saya langsung nyalain mobil, kami langsung pulang. Iya, pulang!
Setelah mengantar mereka berdua, saya pulang dengan disambut mama dan nenek saya yang bahagianya nggak terbendung setelah seminggu nggak liat saya. Maklum, anak tunggal.
Ya. Inilah perjalanan saya. Perjalanan yang mengajari saya tentang bertualang, tentang melihat dunia dan belajar darinya. Tentang menanggapi keadaan darurat dan mengubah rencana secara dinamis. Tentang manajemen sumber daya dan waktu. Tentang kehidupan.
Sekian.
Comments
Post a Comment