Penjelajahan di Negeri di Atas Awan (Day 3 - Part 2) : Cuci Mata di Dieng!
Petualangan masih berlanjut.
Kami masih menikmati kamar baru sementara kami, sembari mencoba berkenalan dengan dapur yang ada di depan kamar. Ada sofa dan bangku di dekat dapur, dan alat masak terpampang lengkap. Seketika isi pikiran kami sama semua : "Ini tempat paling sempurna buat masak mie."
Kami masih rehat-rehat dan selonjoran, Pak Hamid datang menghampiri kami.
"Mau keliling Diengnya kapan?" Pak Hamid nanya.
"Kalo bisa hari ini pak."
"Kalau memang maunya hari ini, bapak siapin mobil."
"Ya udah kalo gitu sekarang aja."
Kami langsung cabut saat itu. Kunci pintu kamar, mobil dipanaskan. Cao!
.
.
.
.
.
Perjalanan baru sebentar tapi kami level kepuasan kami terisi tanpa henti. Persawahan terasering warga, lanskap dataran tinggi yang begitu seksi, udara segara memenuhi rongga dada, dan lokasi yang berdekatan dengan kabut dan awan, saya rasa julukan Negeri Para Dewa itu bener juga. Ditambah berbagai lokasi wisata alam seperti Telaga Warna Dieng dan Kawah Sikidang dan wisata sejarah Candi Arjuna, tidak diragukan lagi Dieng adalah surga di atas awan.
Sekitar 15 menit perjalanan, kami tiba di Batu Pandang, sebuah kawasan yang sangat photogenic karena lokasinya sendiri ada di dekat Telaga Warna dengan background Dieng dan Gunung Prau. Saat kami tiba, ada sekelompok keluarga yang asik foto berkali-kali tanpa takut memori hape penuh (Kayaknya). Mereka selesai, kami pun foto-foto dengan berbagai gaya, termasuk gaya khas saya merentangkan tangan. Hasilnya? Nih..
Kita lalu mulai diskusi setelah makan. Diskusi ini menyangkut jadwal kepulangan kami. Setelah obrolan yang lumayan lama, akhirnya kami memutuskan dengan teguh, hari itu pulang! Kami segera bersih-bersih badan dan beres-beres secara bergantian. Masukkan baju ke tas, bereskan sprei dan bantal di kasur. Done!
Kami masih menikmati kamar baru sementara kami, sembari mencoba berkenalan dengan dapur yang ada di depan kamar. Ada sofa dan bangku di dekat dapur, dan alat masak terpampang lengkap. Seketika isi pikiran kami sama semua : "Ini tempat paling sempurna buat masak mie."
Kami masih rehat-rehat dan selonjoran, Pak Hamid datang menghampiri kami.
"Mau keliling Diengnya kapan?" Pak Hamid nanya.
"Kalo bisa hari ini pak."
"Kalau memang maunya hari ini, bapak siapin mobil."
"Ya udah kalo gitu sekarang aja."
Kami langsung cabut saat itu. Kunci pintu kamar, mobil dipanaskan. Cao!
.
.
.
.
.
Perjalanan baru sebentar tapi kami level kepuasan kami terisi tanpa henti. Persawahan terasering warga, lanskap dataran tinggi yang begitu seksi, udara segara memenuhi rongga dada, dan lokasi yang berdekatan dengan kabut dan awan, saya rasa julukan Negeri Para Dewa itu bener juga. Ditambah berbagai lokasi wisata alam seperti Telaga Warna Dieng dan Kawah Sikidang dan wisata sejarah Candi Arjuna, tidak diragukan lagi Dieng adalah surga di atas awan.
Sekitar 15 menit perjalanan, kami tiba di Batu Pandang, sebuah kawasan yang sangat photogenic karena lokasinya sendiri ada di dekat Telaga Warna dengan background Dieng dan Gunung Prau. Saat kami tiba, ada sekelompok keluarga yang asik foto berkali-kali tanpa takut memori hape penuh (Kayaknya). Mereka selesai, kami pun foto-foto dengan berbagai gaya, termasuk gaya khas saya merentangkan tangan. Hasilnya? Nih..
Biarkan foto yang berbicara. Skip.
Malam harinya, kami memutuskan untuk pulang besok. Andrew, Delia, dan Cintya tidur duluan, sementara saya dan Axel lebih memilih menikmati suasana malam di Dieng dengan duduk-duduk di ruang tamu depan kamar. Sambil menahan dingin, saya masak mie instan. Sekalian, chatting sama seseorang. #ehem. Tapi, karena makin lama makin ngantuk, mie instan habis, saya pun izin terlelap duluan.
Paginya, saya adalah orang yang bangun paling akhir. Ketika saya buka mata, semua seperti sedang asik bikin makanan dan sedang jalan sana jalan sini. Saya sendiri terbangun dan segera cuci badan (Saya nggak mandi karena suhu aernya gak beda jauh sama balok es) dan gosok gigi. Saya langsung ke warung si ibu dan sarapan, sementara teman-teman saya ngajak jalan-jalan di sekitar situ, tapi saya menolak karena lagi sarapan. Akhirnya mereka nitip kunci kamar ke saya dan saya ditinggal. Kata mereka sih jalan-jalan, tapi 1,5 jam setelah saya selesai sarapan, mereka baru balik.
"Asik tau, Ming. Kita naik pick-up ke pasar."
"Emang ada pasar di sini."
"Ada. Tapi, paling deket 5 kilo."
"Kampret.."
Pulang-pulang dari pasar, mereka bawa mie instan berbungkus-bungkus lengkap sama sayur dan sosis. Alhasil mereka bikin mie sendiri dan saya tetapkan mie buatan Andrew sebagai mie instan terbaik saat itu!
Indomie terbaik di Dieng 2016! |
Kami keluar kamar sambil bawa tas masing-masing, dan Pak Hamid menghampiri kami.
"Mau langsung pulang?"
"Iya, pak."
"Ke Candi Arjuna dulu mau nggak? Kemarin katanya mau ke sana."
Kami setuju. Tapi, kami harus berpamitan dengan bu Siti. Sosok yang ramah dan telah menemani dan mengakomodasi kami sebelum dan sesduah naik gunung. Nggak lupa, saya beli pastelnya yang mantep! Saya nggak bakal lupa sarapan tiap pagi di warungnya!
Saya juga beli oleh-oleh di toko caricanya Pak Hamid. Saya beli sebungkus carica dan sebungkus gulali yang notabene merupakan cemilan masa kecil favorit saya. Teman-teman saya juga ngeborong banyak makanan dan oleh-oleh untuk dibawa pulang. Alhasil, mobil Pak Hamid penuh dengan oleh-oleh.
Kami langsung berangkat ke Candi Arjuna. Perjalanan seperti biasa, indah, menyejukkan mata, menenangkan hati. Adem. Ayem. Tentrem.
Di depan kompleks candi Arjuna, kami langsung masuk dan berjalan melewati jalan setapak yang diiringi pohon-pohon cemara kecil. Di kanan kiri kami, reruntuhan bebatuan candi yang tidak kami ketahui namanya berdiri. Masuk semakin ke dalam, kami mulai memasuki kompleks candi Arjuna, yang terdiri atas Candi Arjuna, Candi Srikandi, Candi Puntadewa, dan Candi Sembadra. Dikelilingi pemandangan dataran tinggi yang hijau dan berawan, it feels surreal and dreamy. Nggak bohong deh, ini tempat kayak kediaman para dewa. Magical!
Yang kami lakukan cuma satu : foto-foto. Foto melayang ala Doctor Strange, foto bareng anak kecil yang kagak dikenal, foto ala Ip Man, bergaya di depan candi. Apa aja kita lakukan untuk menikmati kemagisan tanah dewa ini.
Setelah puas, ada kata "pulang" yang menunggu kami. Kami harus pulang dengan bus yang ada di terminal Mendolo. Sebelum ke Candi Arjuna, Pak Hamid bilang kalau bus akan berangkat jam 5 sore. Otomatis, kami semua berangkat jam 4 dari candi dan nggak lupa foto di logo Dieng.
Sepanjang perjalanan pulang, awan, kabut, dan dataran tinggi seolah-olah tersenyum dan melambaikan tangan. Udara sejuk merangsek masuk ke dalam paru-paru, ditemani obrolan amburadul yang bikin saya ngakak sendiri. Pak Hamid sendiri banyak bercerita pengalamannya memiliki usaha carica di Dieng dan berhadapan dengan turis-turis yang datang ke Dieng.
1 jam berlalu (Kami telat 5 menit), untungnya bus jurusan Tangerang belum meninggalkan kami. Segera teman-teman kami ngacir beli tiket dan saya sendiri kencing. Sehabis kencing baru saya kasih uang ke teman saya untuk bayar tiket dan BOOM! Tiket pulang sudah di tangan.
Kami mengucapkan selamat tinggal kepada Pak Hamid karena telah bersedia mengakomodasi kamar dan perjalanan kami selama jalan-jalan keliling Dieng. Dengan berat hati, kamu harus meninggalkan tempat hebat ini. Naik gunung dan jalan-jalan keliling Dieng memang sebuah pengalaman magis dan menyentuh, tapi perjalanan pulanglah yang jadi perjalanan terpanjang, terkampret, dan yang paling menguji daya tahan kami (Termasuk daya tahan mental). The way home never been a child's play..
Comments
Post a Comment