Penemuan Diri di Muntilan (Day 1, Part 2) : Jejak Pertama di Desa Dadapan!

Di akhir artikel yang waktu itu saya tulis, saya dan Ronny akhirnya bertemu orang tua asuh kami di Dadapan, yaitu pak Widiyanto. Kami lalu diminta olehnya untuk masuk dan meletakkan barang-barang kami di kamar kosong yang tidak ditempati. Kamarnya berdinding kayu, dengan sebuah meja belajar berwarna pink yang saya duga adalah milik anak perempuannya, yang fotonya terpajang di dinding. Di lantai, sebuah kasur kecil dengan dua buah selimut rapi tertata. Saya merasakan kesederhanaan di kamar ini menciptakan sensasi naked traveler.

Dengan ramah, pak Widiyanto mengajak kami ke ruang tamu untuk mengobrol santai. Di meja ruang tamu, 2 gelas teh manis panas dan beberapa toples makanan kecil tersaji di depan mata. Kebetulan, karena tenggorokan saya sedang agak berantakan gara-gara nasi kotak restoran fast food yang logonya kakek senyum, saya menikmati sekali teh panas itu. Kami mengobrol santai dan pak Widiyanto menanyakan tentang diri kami di kota, mulai dari kelas berapa hingga pantangan makan. Pak Widiyanto menjelaskan bahwa di desa ini tidak ada mitos atau legenda. Menurut saya ini hal yang membingungkan, karena desa ini terletak di kaki gunung Merapi yang notabene memiliki reputasi keangkeran yang tidak bisa dibantah lagi. Tapi, itu desa saya. Teman-teman saya di desa lain justru mengalami hal-hal di luar nalar yang tidak kami alami di Dadapan. Cerita-cerita dari teman-teman saya akan saya ceritakan setelah seri artikel saya ini selesai.

Jarang-jarang bisa begini...
Pak Widiyanto mengajak kami makan. di ruang makan. Kami melihat 3 buah lauk yang tersedia ketika membuka tudung saji. Ada tahu, gulai ikan, dan satu lagi, saya lupa. Yang pasti ada nasi. Kita makan di papan kayu beralaskan tikar yang sederhana. Saya merasakan kesederhanaan yang kental. Saya menikmati suasana seperti ini, dimana kita bisa makan dengan nikmat, tenang, dalam suasana kesederhanaan yang kentara.

Kami kenyang, dan akhirnya, Pak Widiyanto mengajak kami untuk merasakan sensasi kerja di ladang! Saya berpikir tentang tanam-menanam sayuran, ternyata kami akan memotong rumput. Pak Widiyanto membawa tali dan sebuah arit(Mirip clurit). Jarak dari rumah ke ladang tidak terlalu jauh, karena rumah kami adalah rumah yang berbatasan dengan ladang-ladang penduduk. Ladang pak Widiyanto berada sedikit ke atas dan di sana, rumput-rumput tinggi yang hijau menunggu dipotong untuk pakan ternak sapi.

Malam harinya, kami berkumpul di balai warga untuk melakukan doa Rosario dan kemudian berkumpul di rumah kepada dusun, yaitu pak Sabar, untuk membentuk kelompok memasak. Nantinya, kami akan membuat masakan tradisional khas Dadapan. Saya menikmati malam itu, bersama Ronny dan sejumput keheningan. Desa ini seolah menciptakan hook bagi saya untuk tetap berada di sini, di kamar ini, dan terlelap..

Comments

Popular Posts