Kisah Malam Minggu #1 : Gerhana Mata Hati
Lembab dan sembab, pipimu yang bergerimis ketika langkah kita bertambah lebar. Muara air mata ciptakan pancuran penuh derita, menangisi setiap detik kisah kita. Engkau coba tetap tegar, membangun ruang hati tetap longgar. Kelonggaran yang kau harapkan untuk memuat kisah baru lagi padamu, sehingga padaku, amnesiamu menjadi permanen. Ya, sepenuhnya telah kau lupakan aku.
Kini, kisah baru yang kau jalani tertanda pada senyum lebar di bibir kecilmu.
Senyum lebar tanda sebuah kisah baru. Senyum lebar, tanda kau membuang sakit yang dulu menderu. Ingin ku memberitahumu aku sedang berburu. Ya, berburu. Berburu sisa kenangan kita yang terbawa sampai ke langit biru. Semua surat yang terasa klasik, semua kebersamaan yang kini hadirnya begitu mengusik. Kita adalah kesatuan tanpa kata-kata. Kita adalah kisah indah tanpa cinta. Kita adalah cinta. Cinta yang membuat senja pun cemburu, membuat dedaunan bersedih dan berguguran di antara permukaan tanah.
Kini, kisah baru yang kau jalani adalah kebahagiaan terbesar bagimu.
Aku telah melepasmu bahagia. Melepasmu secara bebas, bukan aku inginkan, namun kau yang paksakan. Mungkin bagiku, kesendirian telah tertakdirkan. Kesendirian mengejar ketidakpastian. Sekarang, gerhana hati adalah satu-satunya kejelasan. Pilu, bahagia, dan rindu berada dalam satu garis lurus. Bahagia ada di antara pilu dan rindu. Piringan bahagia yang kini menutup pilu dan derai tangis tak terbantahkan. Yakin ku bahwa kau akan melihat gerhana itu. Bukan di langit, bukan di siang hari.
Tetapi, tepat di hatiku.
Kau pasti telah melihat gerhana tersebut. Sengaja kau lihat semua dengan mata telanjang, hingga mata terbutakan. Kau sengaja membutakan matamu sendiri, agar tak melihat segala permasalahan yang bergelombang di antara samudera sembilu. Kau berpura-pura bingung, memasang muka tak bersalah, memajang wajah penuh iba, sesungguhnya hanya kebohongan belaka. Ribuan sesal menunggu di depan pintu, menungguku untuk dibukakan pintu dan menamparku perih secara sadar. Sesal yang beralasan, sebab memilihmu adalah kesalahan terbesarku.
Kini, aku memilih tetap melangkah.
Melangkah, menerobos rimbunan rimba, mencari hati yang tidak selalu menaruh iba, tetapi hati yang mau menerima segala kurang yang penuh keretakan tak sempurna. Hati yang mau tetap saling percaya, menerima segala hal yang begitu sederhana. Tiada henti langkahku meraih rasa, biar lelah melewati masa. Harapku adalah tentang perempuan yang rela bersamaku memecah kerancuan, tetap berdiri dalam keteguhan tidak hanya untuk satu dasawarsa, tetapi hingga Tuhan memanggilku. Sebab, dari senyum lebarmu, aku berhak mengukir kisah baruku. Kau berhak tertawa atas harga diriku, tapi hakku adalah untuk tetap menulis sebuah buku. Buku tempat setetes tinta awal untuk memulai kisah baru yang akan disambut senja, bintang, dan semesta.
Atas nama cinta, aku berjuang melawan derita.
Comments
Post a Comment