Apakah Aku Punya Teman?
Malam readers! 11 Hari menuju malam Tahun Baru dan 12 hari menuju hari pertama di tahun 2016. Kali ini, saya akan bercerita tentang pengalaman saya, mungkin terasa sedikit pahit. Tapi, tidak apa, biarlah dalam liburan akhir tahun ini, kita semua merenung, berefleksi, dan throwback kembali apa yang kita telah lakukan selama 1 tahun yang penuh petualangan ini. Saya harapkan, kita juga bisa merenungkan artikel ini. Langsung saja!
Saya mungkin sudah pernah menceritakan bahwa saya adalah seorang siswa SMA di salah satu SMA swasta di Tangerang. Saya pun bersyukur bisa masuk ke SMA tersebut karena memang saya punya prediksi kalau SMA ini akan cocok untuk saya dan ternyata, not a miss. Di sekolah ini, saya baru menjalani 1 semester di kelas 10, jadi ini tahun pertama saya di SMA itu.
Selama semester ganjil ini, guru-guru sudah sangat mengenal saya. Kata mereka, saya aktif, pintar(Guru-guru yang bilang, bukan saya). Begitu pula teman-teman melihat saya. Saya sudah memiliki sahabat seorang perempuan dan dia melihat saya sebagai orang yang bijak, dewasa. Ada juga yang bilang saya itu lucu(Bukan muka, tapi kepribadian) dan baper. Tapi, sekali lagi saya tegaskan, saya bukan sombong. Saya hanya menuliskan apa yang ia katakan. The point is, saya sangat dikenal oleh orang-orang dan guru di sekolah.
Saya bersyukur, thank God. dan saya mulai menjalani semester 1 saya dengan bahagia. Tapi makin lama, saya makin mengetahui kepribadian setiap teman di kelas saya. Ada yang mendatangi saya karena TUGAS atau PR atau minta diajarin pelajaran, ada yang memang senang mengobrol dengan saya, ada yang jadi teman diskusi saya, dan sebagainya. Sementara di kelas, saya adalah loner di kelas. Saya suka bergaul, tapi ketika istirahat, saya lebih menyukai berdiam di meja untuk makan atau sekedar menikmati suasana, jarang sekali ada yang ngobrol dengan saya. Jika ada, itupun hanya waktu sebelum bel masuk jam pertama.
Inilah awal perenungan saya. Saya merenung, apakah saya punya teman? Apakah ada teman yang benar-benar mau menerima saya? Apakah saya dari dulu memiliki teman?
Pertanyaan-pertanyaan di atas tak mampu saya jawab. Saya bertanya kepada teman saya yang melihat saya sebagai orang bijak, dia menjawab bahwa saya punya teman, dan dia ingin menjadi sahabat saya. Saya pun bersyukur dan melihat ketulusan teman saya.
Dan yang menjadi concern saya adalah, bagaimana teman-teman yang hanya dekat dengan saya ketika PR, tugas, dan ujian merajalela? Itu saya kesampingkan. Apakah saya punya teman yang dekat dengan saya hanya karena saya pintar?
Pandangan pintar bagi saya itu subyektif. Namun, mereka selalu memandang saya sebagai orang pintar, padahal, ada yang lebih pintar dari saya di kelas. Saya tidak yakin dengan orang-orang yang hanya mendekati saya ketika ada kesulitan pelajaran.
Dari sini, kita belajar bahwa kita harus mencari orang yang benar-benar mengerti kita. Namun, alangkah baiknya untuk tetap memiliki teman. Memang, salah satu kesulitan terbesar dalam kehidupan adalah mencari orang yang mampu mengerti kita. Tapi, saya yakinkan, bahwa ketika kamu telah menemukan orang yang benar-benar ingin, benar-benar bisa, dan benar-benar tulus mengerti dan menopangmu, kehidupan akan jadi salah satu hal yang paling kita syukuri.
Saya hanya berpegang teguh pada Hukum Karma. Saya hanya tetap bersabar meski ketidaktulusan ada di sekeliling saya. Akan tetapi, saya juga berusaha untuk mengubah mereka sehingga mereka lebih mengerti apa arti persahabatan sesungguhnya. Persahabatan yang bukan ada ketika tugas melimpah, tapi persahabatan yang salingi diiringi tawa dan canda meski dalam keadaan tergelap sekalipun.
Kita harus belajar untuk tetap mengeluarkan energi positif bagi orang-orang yang belum menganggap kita teman. Cinta dan ketulusan yang membuat orang lain ingin bersama kita, menjalin pertemanan dengan kita.
Akhir kata, saya menutup artikel ini dengan kutipan dari Walter Winchell :
Saya mungkin sudah pernah menceritakan bahwa saya adalah seorang siswa SMA di salah satu SMA swasta di Tangerang. Saya pun bersyukur bisa masuk ke SMA tersebut karena memang saya punya prediksi kalau SMA ini akan cocok untuk saya dan ternyata, not a miss. Di sekolah ini, saya baru menjalani 1 semester di kelas 10, jadi ini tahun pertama saya di SMA itu.
Selama semester ganjil ini, guru-guru sudah sangat mengenal saya. Kata mereka, saya aktif, pintar(Guru-guru yang bilang, bukan saya). Begitu pula teman-teman melihat saya. Saya sudah memiliki sahabat seorang perempuan dan dia melihat saya sebagai orang yang bijak, dewasa. Ada juga yang bilang saya itu lucu(Bukan muka, tapi kepribadian) dan baper. Tapi, sekali lagi saya tegaskan, saya bukan sombong. Saya hanya menuliskan apa yang ia katakan. The point is, saya sangat dikenal oleh orang-orang dan guru di sekolah.
Saya bersyukur, thank God. dan saya mulai menjalani semester 1 saya dengan bahagia. Tapi makin lama, saya makin mengetahui kepribadian setiap teman di kelas saya. Ada yang mendatangi saya karena TUGAS atau PR atau minta diajarin pelajaran, ada yang memang senang mengobrol dengan saya, ada yang jadi teman diskusi saya, dan sebagainya. Sementara di kelas, saya adalah loner di kelas. Saya suka bergaul, tapi ketika istirahat, saya lebih menyukai berdiam di meja untuk makan atau sekedar menikmati suasana, jarang sekali ada yang ngobrol dengan saya. Jika ada, itupun hanya waktu sebelum bel masuk jam pertama.
Inilah awal perenungan saya. Saya merenung, apakah saya punya teman? Apakah ada teman yang benar-benar mau menerima saya? Apakah saya dari dulu memiliki teman?
Pertanyaan-pertanyaan di atas tak mampu saya jawab. Saya bertanya kepada teman saya yang melihat saya sebagai orang bijak, dia menjawab bahwa saya punya teman, dan dia ingin menjadi sahabat saya. Saya pun bersyukur dan melihat ketulusan teman saya.
Dan yang menjadi concern saya adalah, bagaimana teman-teman yang hanya dekat dengan saya ketika PR, tugas, dan ujian merajalela? Itu saya kesampingkan. Apakah saya punya teman yang dekat dengan saya hanya karena saya pintar?
Pandangan pintar bagi saya itu subyektif. Namun, mereka selalu memandang saya sebagai orang pintar, padahal, ada yang lebih pintar dari saya di kelas. Saya tidak yakin dengan orang-orang yang hanya mendekati saya ketika ada kesulitan pelajaran.
Dari sini, kita belajar bahwa kita harus mencari orang yang benar-benar mengerti kita. Namun, alangkah baiknya untuk tetap memiliki teman. Memang, salah satu kesulitan terbesar dalam kehidupan adalah mencari orang yang mampu mengerti kita. Tapi, saya yakinkan, bahwa ketika kamu telah menemukan orang yang benar-benar ingin, benar-benar bisa, dan benar-benar tulus mengerti dan menopangmu, kehidupan akan jadi salah satu hal yang paling kita syukuri.
Saya hanya berpegang teguh pada Hukum Karma. Saya hanya tetap bersabar meski ketidaktulusan ada di sekeliling saya. Akan tetapi, saya juga berusaha untuk mengubah mereka sehingga mereka lebih mengerti apa arti persahabatan sesungguhnya. Persahabatan yang bukan ada ketika tugas melimpah, tapi persahabatan yang salingi diiringi tawa dan canda meski dalam keadaan tergelap sekalipun.
Kita harus belajar untuk tetap mengeluarkan energi positif bagi orang-orang yang belum menganggap kita teman. Cinta dan ketulusan yang membuat orang lain ingin bersama kita, menjalin pertemanan dengan kita.
Akhir kata, saya menutup artikel ini dengan kutipan dari Walter Winchell :
"Teman sejati adalah ia yang mendatangi kita ketika seisi dunia meninggalkan kita."
Walter Winchell - Komentator koran dan radio Amerika
Comments
Post a Comment