Satu-Satunya Hal yang Akan Saya Lakukan Jika Dunia Tidak Menuntut Saya untuk Berhasil
Dunia.
Suatu space dimana kita membentuk beragam sistem agar kita bisa berproses dan mencapai tatanan yang teratur, kualitas hidup yang memuaskan fisik dan jiwa, serta jalan bagi kita mencapai titik-titik impian. Ada sistem-sistem yang dipertahankan hingga kini, ada yang pelan namun pasti berubah agar bisa beradaptasi dengan evolusi sifat dan cara berpikir manusia. Beberapa dari sistem ini dibentuk oleh manusia hingga bertumbuh menjadi pola pikir yang terus tertanam dari generasi ke generasi. Salah satunya mengenai keberhasilan dan kesuksesan.
Tentu tiap manusia - terlepas apapun latar belakang dan sifatnya, punya keinginan untuk meraih sesuatu yang mereka ingin dan harapkan. Awalnya kita semua hanya bocah-bocah dengan muka polos a la koruptor yang asing dengan rasa bersalah yang menikmati dunia melalui bermain dan tertawa - suatu proses sosial menyenangkan nan singkat yang berubah drastis ketika kita mulai memasuki sekolah. Kita mulai terjerumus dalam suatu kondisi yang menuntut kita untuk terus menciptakan skor kognisi, afektif, dan psikomotorik yang memuaskan. Seiring proses, kita perlahan memahami dengan nilai yang baik dan memuaskan kita bisa menembus level-level pendidikan tinggi yang menggoda kita dengan prospek karier memuaskan dan peluang kerja yang bergengsi. Ketika kita pun mencapai tingkatan tersebut, gengsi, rasa bangga, dan realitas kehidupan yang berkualitas berkumpul jadi satu. Pamor yang semakin terangkat, kita jadi bahan diskusi banyak manusia, dipuji dan dibicarakan.
Lalu, apa kabar mereka yang tidak berhasil menjangkau level tersebut dan pada akhirnya memilih jalan sendiri? Mereka dipandang sebagai entitas yang normal, tidak istimewa, bahkan dianggap menyedihkan, sering dijadikan contoh oleh orang tua yang tidak ingin anak-anaknya menjadi seperti orang-orang normal tersebut. Mereka hanya dianggap berperan besar dalam satu hal : sebagai satu nyawa yang menambah data sensus dan statistik populasi suatu wilayah.
Dunia memang kejam. Mungkin, lebih tepatnya manusia.
Saya memimpikan dunia yang saling memandang rata. Tidak hanya dalam kesetaraan ras ataupun gender, tetapi juga jalan hidup. Tak semua orang pasti mampu meraih keinginannya, maka mereka pun memilih jalan hidup yang harus dipilih. Orang-orang yang mengalami hal-hal ini adalah orang-orang yang layak untuk kita hormati.
Saya juga memimpikan dunia tanpa tuntutan. Semua orang bisa jadi siapapun yang mereka mau - dalam makna dan artian positif. Tanpa perlu dipandang rendah, tanpa perlu jadi korban mulut tajam masyarakat dan komentar maha dahsyat dari netizen.
Lalu apa yang akan saya lakukan jika dunia seperti itu nyata kehadirannya?
Saya hanya akan bertualang.
Memasuki setiap lapis dunia yang berbeda pada setiap tempat yang saya datangi, mengenal orang-orang baru dan kearifan lokal yang khas, menikmati perjalanan sebagai proses tersesat dan belajar. Perjalanan adalah cermin eksistensi yang membantu kita memahami semesta dan cara kerjanya - bukan untuk merenungkan identitas diri. Perjalanan bukanlah sarana melepas penat - ia adalah proses menjaga keseimbangan jiwa. Banyak orang lari dari rutinitas dan menceburkan dirinya pada nikmatnya liburan, dan kembali menemukan diri mereka hanya melemparkan kail untuk mendapatkan ikan terbaik - sesuatu yang tidak akan pernah mencapai akhir. Memang liburan adalah solusi bagi kepala dan karsa yang penat, tetapi sebagian besar orang terjebak dalam ilusi menikmati momen, bukan perjalanan.
Bagi saya, itulah esensi dari perjalanan atau jika saya menggunakan bahasa elegan : Petualangan.
Selama mengerjakan tulisan ini, kepala saya kembali menjelajahi masa-masa ketika saya harus ketinggalan kereta di Jogja, terdampar di Bekasi setelah pulang naik gunung Prau, hampir kehabisan persediaan air di atas gunung Puntang, mobil sewaan yang terjebak lumpur ketika menuju Kawah Sikidang, dan perjalanan mengejar bus pulang ke Tangerang setelah liburan di Dieng.
Itulah cara semesta bekerja.
Suatu space dimana kita membentuk beragam sistem agar kita bisa berproses dan mencapai tatanan yang teratur, kualitas hidup yang memuaskan fisik dan jiwa, serta jalan bagi kita mencapai titik-titik impian. Ada sistem-sistem yang dipertahankan hingga kini, ada yang pelan namun pasti berubah agar bisa beradaptasi dengan evolusi sifat dan cara berpikir manusia. Beberapa dari sistem ini dibentuk oleh manusia hingga bertumbuh menjadi pola pikir yang terus tertanam dari generasi ke generasi. Salah satunya mengenai keberhasilan dan kesuksesan.
Tentu tiap manusia - terlepas apapun latar belakang dan sifatnya, punya keinginan untuk meraih sesuatu yang mereka ingin dan harapkan. Awalnya kita semua hanya bocah-bocah dengan muka polos a la koruptor yang asing dengan rasa bersalah yang menikmati dunia melalui bermain dan tertawa - suatu proses sosial menyenangkan nan singkat yang berubah drastis ketika kita mulai memasuki sekolah. Kita mulai terjerumus dalam suatu kondisi yang menuntut kita untuk terus menciptakan skor kognisi, afektif, dan psikomotorik yang memuaskan. Seiring proses, kita perlahan memahami dengan nilai yang baik dan memuaskan kita bisa menembus level-level pendidikan tinggi yang menggoda kita dengan prospek karier memuaskan dan peluang kerja yang bergengsi. Ketika kita pun mencapai tingkatan tersebut, gengsi, rasa bangga, dan realitas kehidupan yang berkualitas berkumpul jadi satu. Pamor yang semakin terangkat, kita jadi bahan diskusi banyak manusia, dipuji dan dibicarakan.
Lalu, apa kabar mereka yang tidak berhasil menjangkau level tersebut dan pada akhirnya memilih jalan sendiri? Mereka dipandang sebagai entitas yang normal, tidak istimewa, bahkan dianggap menyedihkan, sering dijadikan contoh oleh orang tua yang tidak ingin anak-anaknya menjadi seperti orang-orang normal tersebut. Mereka hanya dianggap berperan besar dalam satu hal : sebagai satu nyawa yang menambah data sensus dan statistik populasi suatu wilayah.
Dunia memang kejam. Mungkin, lebih tepatnya manusia.
Saya memimpikan dunia yang saling memandang rata. Tidak hanya dalam kesetaraan ras ataupun gender, tetapi juga jalan hidup. Tak semua orang pasti mampu meraih keinginannya, maka mereka pun memilih jalan hidup yang harus dipilih. Orang-orang yang mengalami hal-hal ini adalah orang-orang yang layak untuk kita hormati.
Saya juga memimpikan dunia tanpa tuntutan. Semua orang bisa jadi siapapun yang mereka mau - dalam makna dan artian positif. Tanpa perlu dipandang rendah, tanpa perlu jadi korban mulut tajam masyarakat dan komentar maha dahsyat dari netizen.
Lalu apa yang akan saya lakukan jika dunia seperti itu nyata kehadirannya?
Saya hanya akan bertualang.
Memasuki setiap lapis dunia yang berbeda pada setiap tempat yang saya datangi, mengenal orang-orang baru dan kearifan lokal yang khas, menikmati perjalanan sebagai proses tersesat dan belajar. Perjalanan adalah cermin eksistensi yang membantu kita memahami semesta dan cara kerjanya - bukan untuk merenungkan identitas diri. Perjalanan bukanlah sarana melepas penat - ia adalah proses menjaga keseimbangan jiwa. Banyak orang lari dari rutinitas dan menceburkan dirinya pada nikmatnya liburan, dan kembali menemukan diri mereka hanya melemparkan kail untuk mendapatkan ikan terbaik - sesuatu yang tidak akan pernah mencapai akhir. Memang liburan adalah solusi bagi kepala dan karsa yang penat, tetapi sebagian besar orang terjebak dalam ilusi menikmati momen, bukan perjalanan.
Bagi saya, itulah esensi dari perjalanan atau jika saya menggunakan bahasa elegan : Petualangan.
Selama mengerjakan tulisan ini, kepala saya kembali menjelajahi masa-masa ketika saya harus ketinggalan kereta di Jogja, terdampar di Bekasi setelah pulang naik gunung Prau, hampir kehabisan persediaan air di atas gunung Puntang, mobil sewaan yang terjebak lumpur ketika menuju Kawah Sikidang, dan perjalanan mengejar bus pulang ke Tangerang setelah liburan di Dieng.
Itulah cara semesta bekerja.
“Life is an adventure, it’s not a package tour.”
Eckhart Tolle
Comments
Post a Comment