NGOMENIN #3 : The Nun, Kisah Tentang Valak yang Malang...
Selamat malam, wak!
Sebelumnya saya meminta maaf karena tidak memberi kepastian untuk update blog ini. Saya baru menyelesaikan dari ospek perkuliahan dan jurusan di salah satu universitas swasta, dengan disertai tugas-tugas ospek yang untungnya masih tahu diri.
Dalam artikel NGOMENIN terbaru kali ini, saya mengangkat Valak yang baru-baru ini kembali menjadi tren untuk kita kupas lebih dalam. Valak, yang sempat membuat saya kelojotan di tengah malam 2 tahun lalu selepas menonton The Conjuring 2, kini diizinkan untuk tampil dan pamer talenta di film terbarunya, The Nun. Lantas seperti apa kisahnya? Apa saja ultimate skill yang ia punya untuk membuat kita semakin yakin kalau ia bukanlah iblis receh yang kelakuannya hanya bikin seisi rumah gaduh? Maka dari itu, saya tidak akan review film ini, tetapi akan lebih fokus ke sang iblis ikonik yang berpakaian ala biarawati ini. Tapi, buat yang belum tau kisahnya, saya ceritakan sekelumit terlebih dahulu
1952. Nun jauh di pelosok Rumania, sebuah kastil yang berfungsi sebagai biara yang bernama Biara Carta menjadi tempat yang dijauhi oleh para penduduk sekitar. Kok bisa? Tempat ini diduga sebagai lokasi adanya gerbang neraka yang membuat sesosok iblis bisa masuk ke dunia manusia. Iblis tersebut, ya kita tahu siapa. Sosok iblis inilah yang membuat satu per satu biarawati say goodbye to the world, meskipun segala upaya doa dan ibadah dikerahkan oleh mereka. Salah satu biarawati tersebut, ditemukan tewas gantung diri oleh seorang penduduk desa bernama Frenchie.
Vatikan pun meminta Suster Irene, yang belum mengambil sumpahnya, dan Pastur Anthony Burke untuk menyelidiki peristiwa itu. Ditemani oleh Frenchie, mereka menyelidiki kemisteriusan seisi biara tersebut dan mendapati diri mereka menghadapi sosok yang tidak bisa dianggap sebagai roh jahat ecek-ecek.
Ketika tampil sebagai antagonis di The Conjuring 2, Valak mungkin hanya tampil sekilas dalam beberapa adegan. Tapi, sekilas itu sudah cukup bikin mata saya tidak bisa menutup rapat dari jam sembilan sampai dua belas malam. Bagi saya, ini adalah perkenalan terbaik sekaligus terburuk saya dengan karakter baru dalam film.
Setelah menonton The Nun, saya baru bisa menyimpulkan bahwa memang Valak bukanlah iblis sembarangan yang kerjanya hanya bikin ketakutan satu keluarga. Ia punya tactical prowess yang tergolong tinggi untuk ditandingi. Melihat manusia mengadu taktik dan iman dengannya sama saja nontonin Real Madrid lawan Persita Tangerang. Tonton saja bagaimana dalam The Conjuring 2 ia memakai roh kakek-kakek sebagai boneka untuk merasuki anak kecil, sehingga seolah-olah yang merasuki si anak adalah kakek tersebut. Secara strategi, ia mendominasi.
Valak juga tergolong hantu yang dandanannya..... ah sudahlah. Memakai kedok penampilan a la biarawati, Valak menebar ketakutan dan teror melalui tatapannya yang tajam, agresivitas tingkat tinggi, dan cara menakut-nakuti yang oke punya. Entah sengaja request ke tim make-up dan kostum atau memang dandanannya luntur, satu hal yang pasti, ia sukses membuat jantung saya komat-kamit dan mulut saya deg-degan (Biarin aja kalau terbalik).
Tapi sayangnya, bakat dan talenta Valak dikerahkan setengah matang oleh Corin Hardy, sang sutradara The Nun. Valak di paruh awal film mampu menyajikan sensasi seram maksimal. Namun sayangnya, tengah ke akhir, saya merasa sang sutradara cuma nyuruh dia untuk mengaum-ngaum dengan mata a la presenter Silet untuk menakut-nakuti penonton. Yang lebih disayangkan dari film ini adalah, ia lebih banyak bikin kita lompat dari kursi bioskop daripada bikin kita terngiang-ngiang wajah sensasionalnya itu. Kalau ini saya rasa murni arahan sang sutradara yang, seperti saya bilang tadi, kurang maksimal dan terkesan setengah-setengah.
Malang benar iblis kesayangan kita ini. Nasibnya tak bagus memang, apalagi ia tiga kali kalah telak. Pertama oleh sang cenayang jagoan kita Lorraine Warren. Kedua oleh Suster Irene. Ketiga, oleh meme karya netizen yang mahabenar.
Saya rasa ia seharusnya cari job tempat lain yang lebih bisa dihargai. Jadi peran sampingan di acaranya Roy Kiyoshi mungkin.
Sebelumnya saya meminta maaf karena tidak memberi kepastian untuk update blog ini. Saya baru menyelesaikan dari ospek perkuliahan dan jurusan di salah satu universitas swasta, dengan disertai tugas-tugas ospek yang untungnya masih tahu diri.
Dalam artikel NGOMENIN terbaru kali ini, saya mengangkat Valak yang baru-baru ini kembali menjadi tren untuk kita kupas lebih dalam. Valak, yang sempat membuat saya kelojotan di tengah malam 2 tahun lalu selepas menonton The Conjuring 2, kini diizinkan untuk tampil dan pamer talenta di film terbarunya, The Nun. Lantas seperti apa kisahnya? Apa saja ultimate skill yang ia punya untuk membuat kita semakin yakin kalau ia bukanlah iblis receh yang kelakuannya hanya bikin seisi rumah gaduh? Maka dari itu, saya tidak akan review film ini, tetapi akan lebih fokus ke sang iblis ikonik yang berpakaian ala biarawati ini. Tapi, buat yang belum tau kisahnya, saya ceritakan sekelumit terlebih dahulu
1952. Nun jauh di pelosok Rumania, sebuah kastil yang berfungsi sebagai biara yang bernama Biara Carta menjadi tempat yang dijauhi oleh para penduduk sekitar. Kok bisa? Tempat ini diduga sebagai lokasi adanya gerbang neraka yang membuat sesosok iblis bisa masuk ke dunia manusia. Iblis tersebut, ya kita tahu siapa. Sosok iblis inilah yang membuat satu per satu biarawati say goodbye to the world, meskipun segala upaya doa dan ibadah dikerahkan oleh mereka. Salah satu biarawati tersebut, ditemukan tewas gantung diri oleh seorang penduduk desa bernama Frenchie.
Vatikan pun meminta Suster Irene, yang belum mengambil sumpahnya, dan Pastur Anthony Burke untuk menyelidiki peristiwa itu. Ditemani oleh Frenchie, mereka menyelidiki kemisteriusan seisi biara tersebut dan mendapati diri mereka menghadapi sosok yang tidak bisa dianggap sebagai roh jahat ecek-ecek.
Ketika tampil sebagai antagonis di The Conjuring 2, Valak mungkin hanya tampil sekilas dalam beberapa adegan. Tapi, sekilas itu sudah cukup bikin mata saya tidak bisa menutup rapat dari jam sembilan sampai dua belas malam. Bagi saya, ini adalah perkenalan terbaik sekaligus terburuk saya dengan karakter baru dalam film.
Setelah menonton The Nun, saya baru bisa menyimpulkan bahwa memang Valak bukanlah iblis sembarangan yang kerjanya hanya bikin ketakutan satu keluarga. Ia punya tactical prowess yang tergolong tinggi untuk ditandingi. Melihat manusia mengadu taktik dan iman dengannya sama saja nontonin Real Madrid lawan Persita Tangerang. Tonton saja bagaimana dalam The Conjuring 2 ia memakai roh kakek-kakek sebagai boneka untuk merasuki anak kecil, sehingga seolah-olah yang merasuki si anak adalah kakek tersebut. Secara strategi, ia mendominasi.
Valak juga tergolong hantu yang dandanannya..... ah sudahlah. Memakai kedok penampilan a la biarawati, Valak menebar ketakutan dan teror melalui tatapannya yang tajam, agresivitas tingkat tinggi, dan cara menakut-nakuti yang oke punya. Entah sengaja request ke tim make-up dan kostum atau memang dandanannya luntur, satu hal yang pasti, ia sukses membuat jantung saya komat-kamit dan mulut saya deg-degan (Biarin aja kalau terbalik).
Tapi sayangnya, bakat dan talenta Valak dikerahkan setengah matang oleh Corin Hardy, sang sutradara The Nun. Valak di paruh awal film mampu menyajikan sensasi seram maksimal. Namun sayangnya, tengah ke akhir, saya merasa sang sutradara cuma nyuruh dia untuk mengaum-ngaum dengan mata a la presenter Silet untuk menakut-nakuti penonton. Yang lebih disayangkan dari film ini adalah, ia lebih banyak bikin kita lompat dari kursi bioskop daripada bikin kita terngiang-ngiang wajah sensasionalnya itu. Kalau ini saya rasa murni arahan sang sutradara yang, seperti saya bilang tadi, kurang maksimal dan terkesan setengah-setengah.
Malang benar iblis kesayangan kita ini. Nasibnya tak bagus memang, apalagi ia tiga kali kalah telak. Pertama oleh sang cenayang jagoan kita Lorraine Warren. Kedua oleh Suster Irene. Ketiga, oleh meme karya netizen yang mahabenar.
Saya rasa ia seharusnya cari job tempat lain yang lebih bisa dihargai. Jadi peran sampingan di acaranya Roy Kiyoshi mungkin.
Comments
Post a Comment