Ruang Sempit yang Kian Terhimpit
Untuk sebentar, mungkin ini adalah artikel terakhir saya sebelum saya menghadapi beragam ujian berembel-embel nasional yang tidak waras. Saya harap setelah ujian berakhir, saya bisa segera menulis kembali dan memulai tulisan pertama saya setelah ujian pada pertengahan April. Maafkan karena kepadatan saya yang sebentar lagi akan memasuki dunia perkuliahan. Maka dari itu, mari kita mulai semua ini secara sadar dan tanpa banyak basa-basi.
Saya mau bicara soal hal sederhana saja.
Di dalam diri dan kehidupan ada ruang minimalis yang hendaknya tetap dipertahankan dan dijaga. Segala tentang diri yang terkunci rapat. Ruangan itu dipenuhi informasi yang tumbuh lebat. Tentang hal-hal krusial dan sesekali teatrikal. Ruang itu kini kian terhimpit, tertekan oleh rasa penasaran dunia yang tak ayal membuatnya makin sempit.
Ruang itu saya sebut privasi.
Begini, saya sudah punya pacar sejak 2 minggu yang lalu. Kami melakukan proses PDKT dengan sangat cepat dan tahu-tahu, saling punya rasa. Kami memutuskan untuk berpacaran dan berkomitmen untuk menghadapi segala masalah bersama. Tapi, belum apa-apa, sudah ada masalah.
Sebagian besar teman kelas saya adalah manusia yang mengubah kelas menjadi alam liar. Mereka hidup tanpa dinding-dinding yang ada, membicarakan hal-hal personal beberapa pribadi untuk menjadi bahan gosip yang liar dan mengalir deras tak terbendung. Setiap kali ada gosip, ada berita, tentang apapun, tentang siapapun, mereka tiba-tiba jadi api yang merambat kemana-mana.
Menjadi tidak masalah ketika mereka merespon positif, men'cie-cie'kan, atau memuji hubungan kami. Yang jadi masalah, bagaimana mereka terkadang sesekali mencampuri urusan saya dan pacar saya, mengganggu saya dengan ledekan-ledekan yang berlebihan, bahkan untuk berbicara santai empat mata pun terasa sulit di sekolah.
Ada satu orang anak di kelas saya yang begitu. Tampang preman tidak menjamin kejantanan dan ketangguhan dalam dirinya. Ia membicarakan saya di belakang saya dan meminta pacar saya untuk putus dengan saya. Berarti, ia tidak memiliki kejantanan untuk bicara hal-hal jelek itu di depan saya. Terus, apa bedanya orang ini sama ibu-ibu PKK?
Maksud saya mengisahkan tentang ini adalah bukan soal hubungannya, atau rasa cinta. Saya disini untuk mengajarkan kepada kalian semua tentang privasi. Privasi adalah ruang yang hendaknya tidak boleh terkoneksi dengan orang lain yang bagi kita tidak memerlukan privasi kita. Privasi adalah ruang sendiri. Ruang bagi tiap pribadi untuk tahu diri sendiri. Bagi saya, berusaha membuka ruang pribadi itu adalah suatu pelanggaran hak kita untuk memiliki privasi, dan manusia tentu memiliki hak untuk menjaga personalitas.
Jadi, buat anda yang bicara layaknya ember bocor dan suka mengajukan ribuan tanda tanya tidak penting kepada orang lain, silakan hargai privasi tiap orang, karena anda sendiri punya rahasia dan informasi pribadi yang tentu anda tidak mau orang lain untuk tahu. Dunia akan sangat nyaman jika tiap orang tidak mengurusi kepentingan orang lain.
Saya mau bicara soal hal sederhana saja.
Di dalam diri dan kehidupan ada ruang minimalis yang hendaknya tetap dipertahankan dan dijaga. Segala tentang diri yang terkunci rapat. Ruangan itu dipenuhi informasi yang tumbuh lebat. Tentang hal-hal krusial dan sesekali teatrikal. Ruang itu kini kian terhimpit, tertekan oleh rasa penasaran dunia yang tak ayal membuatnya makin sempit.
Ruang itu saya sebut privasi.
Begini, saya sudah punya pacar sejak 2 minggu yang lalu. Kami melakukan proses PDKT dengan sangat cepat dan tahu-tahu, saling punya rasa. Kami memutuskan untuk berpacaran dan berkomitmen untuk menghadapi segala masalah bersama. Tapi, belum apa-apa, sudah ada masalah.
Sebagian besar teman kelas saya adalah manusia yang mengubah kelas menjadi alam liar. Mereka hidup tanpa dinding-dinding yang ada, membicarakan hal-hal personal beberapa pribadi untuk menjadi bahan gosip yang liar dan mengalir deras tak terbendung. Setiap kali ada gosip, ada berita, tentang apapun, tentang siapapun, mereka tiba-tiba jadi api yang merambat kemana-mana.
Menjadi tidak masalah ketika mereka merespon positif, men'cie-cie'kan, atau memuji hubungan kami. Yang jadi masalah, bagaimana mereka terkadang sesekali mencampuri urusan saya dan pacar saya, mengganggu saya dengan ledekan-ledekan yang berlebihan, bahkan untuk berbicara santai empat mata pun terasa sulit di sekolah.
Ada satu orang anak di kelas saya yang begitu. Tampang preman tidak menjamin kejantanan dan ketangguhan dalam dirinya. Ia membicarakan saya di belakang saya dan meminta pacar saya untuk putus dengan saya. Berarti, ia tidak memiliki kejantanan untuk bicara hal-hal jelek itu di depan saya. Terus, apa bedanya orang ini sama ibu-ibu PKK?
Maksud saya mengisahkan tentang ini adalah bukan soal hubungannya, atau rasa cinta. Saya disini untuk mengajarkan kepada kalian semua tentang privasi. Privasi adalah ruang yang hendaknya tidak boleh terkoneksi dengan orang lain yang bagi kita tidak memerlukan privasi kita. Privasi adalah ruang sendiri. Ruang bagi tiap pribadi untuk tahu diri sendiri. Bagi saya, berusaha membuka ruang pribadi itu adalah suatu pelanggaran hak kita untuk memiliki privasi, dan manusia tentu memiliki hak untuk menjaga personalitas.
Jadi, buat anda yang bicara layaknya ember bocor dan suka mengajukan ribuan tanda tanya tidak penting kepada orang lain, silakan hargai privasi tiap orang, karena anda sendiri punya rahasia dan informasi pribadi yang tentu anda tidak mau orang lain untuk tahu. Dunia akan sangat nyaman jika tiap orang tidak mengurusi kepentingan orang lain.
"Orang-orang berpikiran hebat membicarakan ide. Orang-orang berpikiran rata-rata membicarakan peristiwa. Orang-orang berpikiran rendah membicarakan orang lain."
Eleanor Roosevelt - Ibu Negara Amerika, istri Franklin Roosevelt
Comments
Post a Comment