Penemuan Diri di Muntilan (Day 2) : Masak Kemplang dan Malam Sharing!
Selamat Tahun Baru 2017! Semoga kita masih diberi kesempatan oleh Tuhan untuk tetap berkarya di tahun ini dan tahun-tahun selanjutnya! Untuk mengawali 2017, inilah artikel pertama saya di tahun ini, dan artikel ini adalah lanjutan dari seri petualangan saya di Muntilan!
Hari kedua di desa Dadapan, adalah hari dimana skill memasak saya diuji habis-habisan. Basically, saya adalah manusia yang paling lemah dalam berbagai bidang memasak. Saya lemah dalam menggoreng, saya lemah dalam mengukus. Setidaknya saya masih bisa ngulek, motong bawang putih, dan tentu saja, rebus mie instan.
Kami semua sudah dibagi dalam 3 kelompok, dimana 1 kelompok terdiri atas 8 orang. Kelompok saya dipimpin oleh saya sendiri, yang terdiri atas Adrian, Novi, Octa, Dewi, Richard, Ronny, dan Nikita. Kelompok saya dapat resep yang sederhana tapi belum pernah saya dengar sebelumnya ; Kemplang. Ini adalah sejenis makanan khas Jawa yang dimasak menggunakan singkong, kelapa, dan bawang putih serta garam. Simpel? Nice.
Kami bagi tugas : Para srikandi pergi mencari bahan (Sekalian beli minum) dan para pangeran, berburu singkong di lahan dekat rumah tinggal saya.
Saya dan Adrian bersama ibu asuh saya mencabut singkong untuk kami bersihkan kulitnya dan olah. Kami dapat cukup banyak singkong, dan setelah para wanita dapat bahan-bahan, kami langsung kerja di rumah salah satu warga yang juga ditinggali oleh Dewi dan Nikita. Kami sudah siapkan pisau parutan, baskom, ember, dan pastinya, kamera. Semua ini harus diabadikan.
Ketika teman-teman yang lain ngupas dengan lancar dan santai, saya masih berkutat dengan singkong yang sama. Saya lumayan bisa megang pisau, tapi masalahnya ini mengupas, bukan memotong, sehingga kemampuan piso-memiso saya seolah-olah hilang. Skip.
Loncat ke bagian akhir, setelah prosesi parut, ngulek, membentuk adonan, dan goreng adonan yang cukup bikin kami gempor, akhirnya kemplang buatan anak kota, jadi! Dan, suasana cukup pas, karena hujan turun dalam tempo yang sedang, sehingga sangat nikmat untuk menyantap sebuah kemplang hangat yang meski rasanya asin, tetap saja nikmat untuk mengisi hangat perut di tengah dingin yang menggempur.
Malamnya, kami berkumpul di aula desa yang tidak terlalu besar untuk melakukan doa Rosario dan setelah itu mengeluarkan unek-unek (Sharing) soal apa yang telah kami dapat selama 2 hari ini. Semua warga dan siswa-siswi berkumpul. Kami mengeluarkan curahan hati pribadi kami. Ada yang menangis dan ada juga yang curahan hatinya mirip-mirip. Saya sendiri sharing tentang apa yang saya alami dan juga saya amati di desa ini.
Pertama kali saya tiba di Dadapan, saya hanya dapat melihat puncak Merapi dari kejauhan, puncak yang masih aktif mengeluarkan asap. Dari sini, saya belajar bahwa ternyata setiap dari kita merasa kita masih jauh puncak kehidupan dan keberhasilan kita. Kita sudah bekerja keras, tekun, tapi puncak keberhasilan itu masih jauh dari genggaman. Jangan pernah berpuas diri. Kita belum tiba di puncak yang sesungguhnya.
Saya juga terkejut ketika membuka tudung saji. Tudung saji itu menampilkan 3 makanan, gulai ikan, telur, dan tahu. Berbeda dengan rumah saya, dimana ketika saya membuka tudung saji, ada bakso sapi, sayur-sayuran, sambal, dan ayam goreng. Bersyukurlah. Kita hidup di dunia yang sama, tetapi tidak semua kehidupan sama. Di lingkungan yang sama sekali berbeda ini, tentu ada cultural lag. Saya pun begitu. Saya tidak menyukai tahu. Tapi, ketika kita dituntut untuk makan tahu, kemampuan adaptasi harus kita kerahkan dengan maksimal. Kita berusaha mengatasi kebingungan budaya atau kagok budaya itu.
At least, itu yang dapat saya bagikan. Oh, iya. Cerita ini masih belum berakhir. Di cerita selanjutnya, saya akan share mengenai petualangan saya menjadi Connor Kenway (Fans Assassin's Creed pasti tahu) dalam trekking yang masih bertempat di Muntilan. Experience to be continued..
Hari kedua di desa Dadapan, adalah hari dimana skill memasak saya diuji habis-habisan. Basically, saya adalah manusia yang paling lemah dalam berbagai bidang memasak. Saya lemah dalam menggoreng, saya lemah dalam mengukus. Setidaknya saya masih bisa ngulek, motong bawang putih, dan tentu saja, rebus mie instan.
Kami semua sudah dibagi dalam 3 kelompok, dimana 1 kelompok terdiri atas 8 orang. Kelompok saya dipimpin oleh saya sendiri, yang terdiri atas Adrian, Novi, Octa, Dewi, Richard, Ronny, dan Nikita. Kelompok saya dapat resep yang sederhana tapi belum pernah saya dengar sebelumnya ; Kemplang. Ini adalah sejenis makanan khas Jawa yang dimasak menggunakan singkong, kelapa, dan bawang putih serta garam. Simpel? Nice.
Kami bagi tugas : Para srikandi pergi mencari bahan (Sekalian beli minum) dan para pangeran, berburu singkong di lahan dekat rumah tinggal saya.
Saya dan Adrian bersama ibu asuh saya mencabut singkong untuk kami bersihkan kulitnya dan olah. Kami dapat cukup banyak singkong, dan setelah para wanita dapat bahan-bahan, kami langsung kerja di rumah salah satu warga yang juga ditinggali oleh Dewi dan Nikita. Kami sudah siapkan pisau parutan, baskom, ember, dan pastinya, kamera. Semua ini harus diabadikan.
Ketika teman-teman yang lain ngupas dengan lancar dan santai, saya masih berkutat dengan singkong yang sama. Saya lumayan bisa megang pisau, tapi masalahnya ini mengupas, bukan memotong, sehingga kemampuan piso-memiso saya seolah-olah hilang. Skip.
Loncat ke bagian akhir, setelah prosesi parut, ngulek, membentuk adonan, dan goreng adonan yang cukup bikin kami gempor, akhirnya kemplang buatan anak kota, jadi! Dan, suasana cukup pas, karena hujan turun dalam tempo yang sedang, sehingga sangat nikmat untuk menyantap sebuah kemplang hangat yang meski rasanya asin, tetap saja nikmat untuk mengisi hangat perut di tengah dingin yang menggempur.
Malamnya, kami berkumpul di aula desa yang tidak terlalu besar untuk melakukan doa Rosario dan setelah itu mengeluarkan unek-unek (Sharing) soal apa yang telah kami dapat selama 2 hari ini. Semua warga dan siswa-siswi berkumpul. Kami mengeluarkan curahan hati pribadi kami. Ada yang menangis dan ada juga yang curahan hatinya mirip-mirip. Saya sendiri sharing tentang apa yang saya alami dan juga saya amati di desa ini.
Pertama kali saya tiba di Dadapan, saya hanya dapat melihat puncak Merapi dari kejauhan, puncak yang masih aktif mengeluarkan asap. Dari sini, saya belajar bahwa ternyata setiap dari kita merasa kita masih jauh puncak kehidupan dan keberhasilan kita. Kita sudah bekerja keras, tekun, tapi puncak keberhasilan itu masih jauh dari genggaman. Jangan pernah berpuas diri. Kita belum tiba di puncak yang sesungguhnya.
Saya juga terkejut ketika membuka tudung saji. Tudung saji itu menampilkan 3 makanan, gulai ikan, telur, dan tahu. Berbeda dengan rumah saya, dimana ketika saya membuka tudung saji, ada bakso sapi, sayur-sayuran, sambal, dan ayam goreng. Bersyukurlah. Kita hidup di dunia yang sama, tetapi tidak semua kehidupan sama. Di lingkungan yang sama sekali berbeda ini, tentu ada cultural lag. Saya pun begitu. Saya tidak menyukai tahu. Tapi, ketika kita dituntut untuk makan tahu, kemampuan adaptasi harus kita kerahkan dengan maksimal. Kita berusaha mengatasi kebingungan budaya atau kagok budaya itu.
At least, itu yang dapat saya bagikan. Oh, iya. Cerita ini masih belum berakhir. Di cerita selanjutnya, saya akan share mengenai petualangan saya menjadi Connor Kenway (Fans Assassin's Creed pasti tahu) dalam trekking yang masih bertempat di Muntilan. Experience to be continued..
"The joy of life comes from our encounters with new experiences, and hence there is no greater joy than to have an endlessly changing horizon, for each day to have a new and different sun."
Christopher Mccandless - Petualang Amerika
Comments
Post a Comment