Penemuan Diri di Muntilan (Day 1, Part 1) : Awal Sebuah Perjalanan!

Sore itu, pukul 15.30, adalah hari Senin dimana matahari izin mampir sebentar dari langit dan membiarkan awan mendung menggantikannya. Saya sudah mengemas semua perlengkapan dan pakaian yang akan saya bawa menuju Muntilan, sebuah tempat dekat Yogjakarta yang belum pernah saya kunjungi. Dalam beberapa pertemuan di jam pelajaran, guru Geografi saya membocorkan sedikit mengenai tempat ini. Katanya, jika malam, tempat ini sangat dingin dan juga ada pertanian sayuran organik serta dekat dengan lereng gunung Merapi. Saya dan teman-teman sudah mencoba menggambar imajinasi semegah mungkin dalam pikiran masing-masing. Hasilnya? Mereka memiliki bayangan yang hampir sama seperti saya dan langsung mengambil kesimpulan bahwa Live In akan jadi pengalaman hidup di luar kota yang menyenangkan.

Sekitar 1,5 jam kami menunggu di sekolah, sebelum guru-guru pendamping kami memberikan sedikit arahan dan memeriksa apakah ada yang membawa HP, karena selama Live In, kami akan benar-benar terputus dari teknologi, komunikasi, dan aliran informasi (Setelah pulang Live In, teman-teman saya memberitahu saya bahwa ternyata masih ada saja yang menyelundupkan HP dan dibawa selama Live In). Kami berdoa, dan segera menuju bus sembari meletakkan koper dan tas berisikan baju dan perlengkapan ke bagasi. Saya menempati bus 5, yang berisikan beberapa anak yang akan tinggal di desa Semen, sementara sisanya yang mendominasi bus ini, tinggal di desa Sengi dan Dadapan (Saya tinggal di desa Dadapan).

Sebelum berangkat, saya memeluk ibu saya terlebih dahulu setelah selesai dari kamar mandi. Bus kemudian berangkat pukul 18.30. Saya sendiri duduk dengan teman akrab saya yang memiliki minat yang sama dalam ilmu pengetahuan, meski beda jurusan. Kami dan yang lain mengobrol dengan akrab sembari makan burger yang saya beli dari sebuah restoran fast food berlogo kakek-kakek. Perjalanan terasa semakin menyenangkan ketika saya mulai mengobrol topik-topik yang lebih menjurus ke masalah sosial dan ilmu pengetahuan bukan hanya dengan teman sebangku, melainkan teman-teman di belakang dan samping tempat duduk saya.

Memasuki tol Cipali, beberapa anak sudah mulai terlelap, tapi masih banyak yang tersadar dan menyanyi. Tidak lama, kami tidak di sebuah rest area (Kalau tidak salah rest area km 102) untuk istirahat dan ke toilet sebentar. Guru Geografi saya memakai kupluk khas gunung dan jaket lengkap. Jika kalian ingin bilang guru Geografi saya norak meskipun udara tidak terlalu dingin di sana, ia bukan norak. Sebelum jadi guru, ia sempat bertualang keliling Indonesia sehingga mungkin sudah menjadi kesukaannya memakai pakaian seperti itu.

Bus kembali berangkat setelah sekitar 30 menit lebih berhenti. Anak-anak lelaki yang semuanya duduk di belakang masih bernyanyi ringan, sebelum semua anak terlelap termasuk kepala sekolah yang ada di bus kami dan guru olah raga kami. Saya pun ikut terlelap pada sekitar pukul 11 lebih.

Saya sempat terbangun dan menemukan posisi kami berada di jalan tol yang sempat menuai maut dalam lebaran tahun ini. Yap, Brexit. Saya sempat melihat bagaimana Brexit itu, dan yang saya temukan adalah sebuah jalanan yang hanya sedikit lebih lebar dari jalan rumah saya. Hanya ada beberapa truk yang lewat jalan ini dan saya melihat bahwa kami tiba di kota Tegal. Apa yang saya lakukan setelah itu? Tidur lagi.

Terbangun lagi, kami tiba di sebuah rumah makan dan toko oleh-oleh khas Jogja. Kami turun untuk buang air kecil dan menghirup udara pukul 4.30 pagi yang segar. Bus-bus lain pun berhenti di tempat yang sama.



Kami memulai kembali perjalanan kami, dengan tenaga yang terisi kembali, hasil dari tidur setengah-setengah yang kami jalani. Disambut fajar yang perlahan mulai tampak, kami mulai melewati dataran tinggi dan siluet-siluet pegunungan yang jadi pemandangan indah pertama bagi mata kami. Pepohonan dan sawah-sawah terasering menguatkan identitas pulau Jawa sebagai pulau tersubur di bumi.

Bus telah tiba di Magelang! Saya kira saya tiba di Jogjakarta, ternyata ini Magelang. Bus terus melaju, dan kemudian memasuki suatu jalan kecil yang menanjak. Di kiri kanan jalan terdapat persawahan dan kebun-kebun milik warga. Bus berusaha naik lebih jauh, karena kami akan turun di Gubug Selo. Namun, karena ada truk yang terperosok, kami terpaksa turun dan meletakkan tas-tas baju dan koper kami ke sebuah mobil pick-up. Kami berjalan di jalanan yang becek dan menanjak menuju Gubug Selo. Di sana, kami diberi pengarahan untuk menjalani Live In, kemudian satu per satu kelompok desa diminta untuk menaiki mobil pick-up yang telah disediakan. Kami yang akan tinggal di desa Dadapan menjadi salah satu rombongan yang diantar lebih dulu. Jalanan menuju Dadapan dari Gubug Selo cukup jauh dan menanjak. Meski begitu, kami melewati persawahan dan perkebunan cabai milik warga. Jika ada warga yang sedang bekerja di ladangnya, kami menyapa mereka dan mereka menyapa kami dengan senyum dan ramah.

Finally! Setelah perjalanan 13,5 jam yang menguras tenaga, kami tiba di Dadapan! Kami turun di halaman rumah seorang warga. Guru sejarah yang juga pendamping desa kami memberi arahan sebentar dan menanyakan rumah tiap warga yang akan kami tinggali. Ketika hanya tinggal saya dan teman saya yang juga sudah akrab sejak kelas 10 (Meski beda kelas), guru kami menanyakan di mana rumah pak Widiyanto kepada seorang bapak yang halaman rumahnya menjadi tempat pemberhentian kami di Dadapan. Ternyata bapak yang ditanyakan oleh guru kami itu adalah pak Widiyanto sendiri!

Iyap, baru ini yang dapat saya ceritakan. Untuk part 1, ini cukup banyak. Nantinya saya akan menerbitkan kembali lanjutan cerita ini di Penemuan Diri di Muntilan (Day 1, Part 2). Tunggu kelanjutannya gan, karena saya punya kisah-kisah yang unik dan anti-mainstream di Muntilan. Tunggu kelanjutannya gan!

"To travel is to take journey into yourself."
Danny Kaye - Aktor, komedian, dan penyanyi Amerika Serikat 

Comments

Popular Posts