Apakah Aku Punya Teman? (3)

Malam Minggu ini, sesuai yang saya janjikan, saya akan menulis artikel yang telah saya janjikan : Seri terakhir dari Apakah Aku Punya Teman! Pada akhirnya, saya mencapai kesimpulan tentang apa itu persahabatan dan bagaimana kisah persahabatan saya, yang memasuki dunia IPS, karena telah banyak pelajaran yang saya alami mulai dari semester 2 kelas X, hingga awal kelas XI IPS.

Maka, izinkan saya memulai akhir kisah ini.

Ketika saya kelas X, saya memiliki teman yang berinisial H. Seorang anak laki-laki. Ia kurang disukai di kelas saya, begitupun saya, pada awalnya. Saya merasa ia kurang bisa menjaga tutur katanya, maksud saya, ia adalah orang yang suka berbicara tanpa berpikir. Selama 1 semester, saya kurang dapat menerima keberadaannya. Kehadirannya di meja saya membuat saya tidak nyaman dalam beraktivitas.

Kasus kedua, saat saya baru masuk di kelas XI IPS.

Saya dan seorang sahabat saya yang dulu sekelas saat kelas X merasakan perbedaan yang sangat pribadi ketika memasuki kelas XI IPS 2. Ia merasakan bahwa kelas yang baru ini kurang bisa menerima sikap dan kepribadiannya yang absurd dan frontal, tidak seperti kelas X.2 yang dulu sangat kompak dan bisa menerima segala jenis manusia dengan kepribadiannya. Sementara saya merasa, kelas ini berisi kumpulan geng, sementara orang-orang seperti saya dan beberapa teman lain yang tergolong introvert menjadi seperti tidak punya teman.

Ketika orang lain pergi ke toilet bersama teman-teman mereka atau kelompoknya masing-masing, saya dan beberapa orang yang lain pergi dengan diri kami sendiri. Kami adalah orang-orang yang pergi ke setiap sudut sekolah, sendirian.

Dan mari kita mulai dari kasus pertama, cerita yang belum pernah saya ceritakan di seri ini.

Melihat negativitas adalah salah satu hal yang paling sering dilakukan orang lain. Mereka melihat sikap orang-orang di sekitarnya, dan jika ada salah satu dari mereka yang bersikap negatif, mereka tentu akan menjauh atau bereaksi dengan cara mengejek, menghina, menyindir. Dan saya juga meyakini bahwa ketika ada orang yang sangat dekat dengan kita melakukan suatu kesalahan yang berakibat fatal bagi kita maupun orang lain, tentunya rasa kesal mulai tumbuh.

Inilah realita.

Tapi yang berusaha saya jabarkan adalah tentang bagaimana kita mencintai sisi negatif orang lain. Maksud saya adalah bukan mendukung dan meminta mereka untuk terus memiliki kekurangan mereka. Justru sebaliknya, ini adalah tentang menerima. Untuk memiliki seorang sahabat, menerima adalah langkah paling krusial. Jika kita meminta mereka untuk berubah, berarti kita memiliki kriteria tertentu untuk orang yang akan menjadi teman kita. Yang terpenting, kita mencoba untuk menerima mereka.

Namun orang akan berubah pada saatnya. Perubahan itu juga yang harus kita terima.

Beralih kepada kehidupan saya.

Seperti yang sudah saya ceritakan di atas bahwa, saya dan seorang teman perempuan saya merasa kami adalah manusia yang kehilangan teman di kelas yang baru ini. Berkelompok atau memiliki geng tersendiri. Kami tidak melihat solidaritas yang dulu kami lihat di kelas X(Meskipun beberapa teman di kelas X seperti memanfaatkan saya).

Saya menarik pembelajaran bahwa terkadang kesendirian adalah teman terbaik. Ia tidak pernah mengganggu, membuat risih. Ia adalah teman sejati yang mengizinkan saya merenung, menikmati saat ini, dan mengkhayal sejenak.

Tapi, saya benar-benar tidak menyarankan kalian menyendiri terlalu lama. Sebab menyendiri pun ada batasnya. Dan ketika saat menyendiri itu telah mencapai batasnya, kita seharusnya sudah bisa mencapai simpulan dari apa yang telah kalian renungkan.

Meskipun anda berusaha menjadi teman bagi semua orang, tetapi kesendirian yang tetap menjadi jalan anda, tidak apa. Ada saatnya ketika anda berhasil bersama kesendirian anda, mereka datang kepada anda dan meminta bantuan anda.

Yah, begitulah kehidupan. Persahabatan menjadi salah satu selingan di dalamnya.

Ngomong-ngomong, apakah saya sudah menjawab pertanyaan yang kini menjadi judul artikel ini?

Begini.

Saya rasa saya selalu ingin menjadi teman bagi siapapun. Tapi, saya merasa tidak semua orang bisa menerima saya. Saya disegani oleh banyak orang di sekolah (Maaf bukan sombong), tetapi saya belum tentu diterima orang-orang tersebut. Tapi itulah kenyataan, yang bagaimana membentuk perspektif saya mengenai hubungan sosial dan persahabatan.

Pada akhirnya saya mencapai kesimpulan bahwa saya tidak punya teman, hanya sahabat. Dan itu pun hanya mereka yang benar-benar menganggap saya seorang yang berarti.

Maka simpulan saya bagi keseluruhan 3 artikel yang menjadi satu seri ini, dapat saya rangkum lewat perkataan Bernard Meltzer berikut ini.

"Sahabat adalah seseorang yang menganggap bahwa kamu adalah telur yang baik meskipun ia tahu, kamu sedikit rusak."
Bernard Meltzer - Pembawa acara radio Amerika

Comments

Popular Posts