Menjadi Gembala
Ketika sekelompok orang berada dalam keadaan yang kritis dan darurat, akan ada orang yang menjadi gembala. Ia yang akan memimpin domba-dombanya menuju sesuatu yang mampu menghasilkan perubahan signifikan. Kali ini, saya akan membagikan pengalaman saya tentang menjadi seorang pemimpin yang ternyata, secara teori adalah mudah, dan secara praktek, merupakan tantangan terberat bagi saya, selama saya berpendidikan.
Ketika awal semester 2, saya dipilih oleh guru Seni Budaya untuk menjadi ketua pentas seni tim A, yang merupakan kelompok saya. Planning dan briefing pada 2 bulan pertama cukup lancar. Tetapi mulai bulan April dan Mei, saya merasakan ada sesuatu yang mencoba untuk menahan-nahan rencana yang telah saya planning. Saya mulai menghadapi berbagai macam hambatan, mulai dari anggota yang banyak alasan, miskomunikasi dengan kelompok B(Karena kami bergantian tampil dan bergantian menjadi Event Organizer), hingga beberapa anggota yang main-main. Saya mencoba menegaskan untuk tidak main-main, dan jika main-main, saya meminta mereka untuk membentuk kelompok sendiri. Tetap saja, masih ada beberapa anggota yang menganggap ketegasan saya sebagai sebuah permainan untuk dimainkan.
Saya mencoba menahan emosi, menahan untuk tidak meledak. Demi kebaikan kelompok saya, saya mencoba untuk tidak meledak-ledak. Saya masih melemparkan senyuman kepada anggota saya dan anggota kelompok B. Karena saya tidak mencoba lebih tegas kembali, beberapa teman dari kelompok B mengkritik saya sebagai orang yang kurang tegas. Saya memaklumi itu. Saya adalah orang yang lebih percaya sistem Karma dengam efektivitas kelas atas yang dijamin mampu memberi efek jera bagi mereka yang main-main. Namun, bukan berarti saya tidak bisa tegas. Dan 2 hari lagi, Senin, 23 Mei 2016, saya akan tampil dalam pentas seni saya.
Menjadi pemimpin adalah menjadi gembala. Kita yang mengarahkan domba-domba kita. Kita mengarahkan mereka tetap teratur, mengerti perilaku dan kepribadian mereka. Dengan begitu, kita akan mampu menjadikan mereka satu kelompok, dengan pemikiran searah, pemikiran yang jelas. Menggembalakan domba adalah dengan membawa domba itu menuju sesuatu yang membuat mereka puas dan bahagia. Padang rumput yang segar dan mata air.
Tentu saja, setiap domba memiliki perilaku yang berbeda. Kita harus bisa mengerti mereka. Tugas seorang gembala selain memimpin mereka adalah memiliki sebuah hubungan atau koneksi yang kuat dengan para dombanya. Koneksi inilah yang akan membantu kita mengerti setiap dari mereka dan memahami apa yang mereka butuhkan.
Meskipun saya bukan umat Kristiani, tapi saya mengagumi salah satu kutipan dari Alkitab, yang berbunyi "Gembala yang baik memberikan nyawanya bagi domba-dombanya." Pengorbanan dibutuhkan ketika kita adalah seorang gembala. Dan menjadi sulit ketika harus berkorban. Sebab, saya meyakini, pengorbanan adalah hal terberat yang pernah dihadapkan pada seseorang.
Kita semua bisa menjadi pemimpin. Namun, pimpinlah diri sendiri terlebih dahulu, sebelum kita memandu orang lain menuju perubahan.
Ketika awal semester 2, saya dipilih oleh guru Seni Budaya untuk menjadi ketua pentas seni tim A, yang merupakan kelompok saya. Planning dan briefing pada 2 bulan pertama cukup lancar. Tetapi mulai bulan April dan Mei, saya merasakan ada sesuatu yang mencoba untuk menahan-nahan rencana yang telah saya planning. Saya mulai menghadapi berbagai macam hambatan, mulai dari anggota yang banyak alasan, miskomunikasi dengan kelompok B(Karena kami bergantian tampil dan bergantian menjadi Event Organizer), hingga beberapa anggota yang main-main. Saya mencoba menegaskan untuk tidak main-main, dan jika main-main, saya meminta mereka untuk membentuk kelompok sendiri. Tetap saja, masih ada beberapa anggota yang menganggap ketegasan saya sebagai sebuah permainan untuk dimainkan.
Saya mencoba menahan emosi, menahan untuk tidak meledak. Demi kebaikan kelompok saya, saya mencoba untuk tidak meledak-ledak. Saya masih melemparkan senyuman kepada anggota saya dan anggota kelompok B. Karena saya tidak mencoba lebih tegas kembali, beberapa teman dari kelompok B mengkritik saya sebagai orang yang kurang tegas. Saya memaklumi itu. Saya adalah orang yang lebih percaya sistem Karma dengam efektivitas kelas atas yang dijamin mampu memberi efek jera bagi mereka yang main-main. Namun, bukan berarti saya tidak bisa tegas. Dan 2 hari lagi, Senin, 23 Mei 2016, saya akan tampil dalam pentas seni saya.
Menjadi pemimpin adalah menjadi gembala. Kita yang mengarahkan domba-domba kita. Kita mengarahkan mereka tetap teratur, mengerti perilaku dan kepribadian mereka. Dengan begitu, kita akan mampu menjadikan mereka satu kelompok, dengan pemikiran searah, pemikiran yang jelas. Menggembalakan domba adalah dengan membawa domba itu menuju sesuatu yang membuat mereka puas dan bahagia. Padang rumput yang segar dan mata air.
Tentu saja, setiap domba memiliki perilaku yang berbeda. Kita harus bisa mengerti mereka. Tugas seorang gembala selain memimpin mereka adalah memiliki sebuah hubungan atau koneksi yang kuat dengan para dombanya. Koneksi inilah yang akan membantu kita mengerti setiap dari mereka dan memahami apa yang mereka butuhkan.
Meskipun saya bukan umat Kristiani, tapi saya mengagumi salah satu kutipan dari Alkitab, yang berbunyi "Gembala yang baik memberikan nyawanya bagi domba-dombanya." Pengorbanan dibutuhkan ketika kita adalah seorang gembala. Dan menjadi sulit ketika harus berkorban. Sebab, saya meyakini, pengorbanan adalah hal terberat yang pernah dihadapkan pada seseorang.
Kita semua bisa menjadi pemimpin. Namun, pimpinlah diri sendiri terlebih dahulu, sebelum kita memandu orang lain menuju perubahan.
"Adalah sebuah tugas dari seorang gembala yang baik untuk mencukur domba-domba mereka, bukan mengulitinya."
Tiberius - Kaisar Romawi
indeed!
ReplyDeleteSometimes people have no respect to each other
But when we can handle our emotion, for sure it will makes everything gonna be okay :)
Congratulations for your team & be a humble leader ! ^^